Selasa, 19 Juli 2011

BukuPanduan Anak Autis

Terapi Makanan
Terapi Diet pada Gangguan Autisme
Sampai saat ini belum ada obat atau diet khusus yang dapat memperbaiki struktur otak atau jaringan syaraf yang kelihatannya mendasari gangguan autisme. Seperti diketahui gejala yang timbul pada anak dengan gangguan autisme sangat bervariasi, oleh karena itu terapinya sangat individual tergantung keadaan dan gejala yang timbul, tidak bisa diseragamkan. Namun akan sulit sekali membuat pedoman diet yang sifatnya sangat individual. Perlu diperhatikan bahwa anak dengan gangguan autisme umumnya sangat alergi terhadap beberapa makanan. Pengalaman dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi selanjutnya. Terapi diet disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa contoh diet anak autisme.
1. Diet tanpa gluten dan tanpa kasein
Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.
Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput” seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten. Beberapa contoh resep masakan yang terdapat pada situs Autis.info ini diutamakan pada menu diet tanpa gluten dan tanpa kasein. Bila anak ternyata ada gangguan lain, maka tinggal menyesuaikan resep masakan tersebut dengan mengganti bahan makanan yang dianjurkan. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya.
Makanan yang dihindari adalah :
http://www.autis.info/images/stories/autisme/makanan-no.png
  • Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.
  • Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan saus lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan campuran. Jadi, perlu hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada kemasannya.
  • Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.
  • Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget, hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi.
  • Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.
Makanan yang dianjurkan adalah :
http://www.autis.info/images/stories/autisme/makanan-ok.png
  • Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun, soun, dan sebagainya.
  • Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang, cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang mede, kacang kapri dan kacang-kacangan lainnya.
  • Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat, wortel, timun, dan sebagainya.
  • Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk, semangka, dan sebagainya.

2. Diet anti-yeast/ragi/jamur
Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula, maka makanan yang diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.
Makanan yang perlu dihindari adalah :
  • Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang menggunakan gula dan yeast.
  • Semua jenis keju.
  • Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet, dan lain-lain.
  • Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard, monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam acar (timun, bawang, zaitun) atau makanan yang menggunakan cuka, mayonnaise, atau salad dressing.
  • Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur merang, dan lain-lain.
  • Buah yang dikeringkan misalnya kismis, aprokot, kurma, pisang, prune, dan lain-lain.
  • Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua minuman yang manis.
  • Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh dengan cepat pada sisa makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari es.
Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk mencobanya biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti dapat dikonsumsi.
Makanan yang dianjurkan adalah :
  • Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi, singkong, jagung, dan tales. Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat dari tepaung yang bukan tepung terigu.
  • Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut lain yang segar.
  • Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete, kacang kedelai, kacang hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun, kacang tanah tidak dianjurkan karena sering berjamur.
  • Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli, kol, kembang kol, bit, wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi, tomat, buncis, kacang panjang, kangkung, tomat, dan lain-lain.
  • Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.

3. Diet untuk alergi dan inteloransi makanan
Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering menimbulkan alergi adalah ikan, udang, telur, susu, cokelat, gandum/terigu, dan bias lebih banyak lagi. Cara mengatur makanan untuk anak alergi dan intoleransi makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber penyebabnya. Makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan. Misalnya, jika anak alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

Cara mengatur makanan secara umum
  1. Berikan makanan seimbang untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.
  2. Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.
  3. Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive. Bila perlu menambah konsumsi lemak, makanan dapat digoreng.
  4. Cukup mengonsumsi serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.
  5. Pilih makanan yang tidak menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat pewarna, zat pengawet).
  6. Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium).
  7. Membaca label makanan untuk mengetahui komposisi makanan secara lengkap dan tanggal kadaluwarsanya.
  8. Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak akan bosan.
  9. Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan sayuran segar.


Anak Autis Punya Otak Lebih Besar
EmailCetakPDF
BEIJING, KOMPAS.com - Anak-anak penyandang autisme ternyata memiliki ukuran otak yang sedikit lebih besar dibandingkan anak yang tidak memiliki kondisi kelainan tersebut.
Penelitian terbaru yang dimuat jurnal Archives of General Psychiatry edisi Mei ini menyebutkan, perbedaan di antara kedua ukuran ini tampaknya berkaitan dengan  rata-rata peningkatan pertumbuhan otak sebelum anak berusia 2 tahun.
Para ahli dari University of North Carolina Amerika Serikat, yang mengagas riset tersebut,  menekankan walaupun dari sisi ukuran terus bertambah, tetapi dari segi pertumbuhan tidaklah demikian.
Pada 2005, para ahli meneliti sekelompok anak berusia 2 tahun , dan menemukan bahwa seorang anak pengidap  autisme memiliki otak dengan ukuran 5% hingga 10% lebih besar dibandingkan anak yang tidak mengalami gangguan tersebut.
Para ahli belum lama ini melakukan pemeriksaan terhadap kelompok anak yang sama setelah mereka menginjak usia 5 tahun.  Para psikiatri melakukan scan otak ulang pada 38 anak pengidap autisme dan 21 anak non autisme. Hasilnya menunjukkan bahwa anak autistik masih memiliki ukuran otak yang sedikit lebih besar, tetapi tetapi ukuran pertumbuhannya sama dengan kelompok anak yang tidak mengidap autisme.
Menurut pimpinan riset Joseph Piven, MD, temuan ini dapat memberikan pemahaman lebih baik tentang  gen-gen yang memicu autisme, yang pada gilirannya akan membuka jalan bagi penemuan cara identifikasi secara dini dan pengobatan yang tepat untuk kondisi kelainan ini.
Jangan Buru-buru Masukkan Anak Autis ke Sekolah
EmailCetakPDF
 Merry Wahyuningsih - detikHealth
Jakarta, Hampir semua orangtua menginginkan anaknya bisa baca tulis dan memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Tapi bagi anak autis, jangan buru-buru memasukkan ke sekolah karena yang terpenting adalah melatih anak autis menjadi mandiri.

"Jangan terpaku pada baca tulis atau akademik, yang terpenting untuk anak autis adalah bisa mandiri," jelas Gayatri Pamoedji, SE, MHc, Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI), dalam acara Media Briefing Peluncuran Komik Autisme Pertama di Indonesia di Rumah MPATI, Jakarta, Rabu (30/3/2011).

Menurut Gayatri, banyak orangtua yang kewalahan mengurusi anaknya yang autis kemudian buru-buru menyerahkan tanggung jawab kepada sekolah. Padahal hal itu tidak dapat membuat anak autis menjadi mandiri, tapi justru membuat guru atau teman-temannya kewalahan.

Setidaknya, lanjut Gayatri, bila ingin memasukkan anak ke sekolah ada beberapa kesiapan yang harus dimiliki anak autis, yaitu:
  1. Patuh
  2. Mampu memperkenalkan nama di depan kelas
  3. Berbaris
  4. Duduk bersila di lantai
  5. Makan dengan bantuan yang minimal
  6. Minum dengan botol air minum
  7. Ke toilet
  8. Berjalan bergandengan dengan anak lain
  9. Mampu minta tolong guru bila dalam kesulitan

Menurut Gayatri, suksesnya penanganan anak autis sangat bergantung dari tiga pilar utama penanganan autisme, yaitu diagnosa tepat, pendidikan tepat dan dukungan kuat.

"Jangan melulu pikirkan akademis tapi tentukan bakat anak. Jika anak sudah bisa mandiri dan dilatih bakatnya, maka kemungkinan bakat itu bisa menjadi peluang buat dia untuk mencari nafkah," jelas Gayatri yang juga ibu dari anak autis.

Gayatri juga menjelaskan bahwa orangtua tidak perlu buru-buru menjalan terapi autisme yang mahal-mahal, karena kunci utama untuk terapi autisme adalah membuat anak mampu berkomunikasi.

"Boleh terapi yang mahal seperti terapi lumba-lumba atau apalah itu, tapi setelah tiga terapi dasar autisme sudah bisa dijalani. Terapi seperti lumba-lumba itu adalah terapi tambahan dan berfungsi untuk membuat anak relaksasi bukan menjadi mandiri," jelas Gayatri.

Tiga terapi dasar autisme yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
  1. Terapi perilaku (Applied Behavioral Analysis), mengajarkan anak agar patuh.
  2. Terapi okupasi, untuk melatih kemampuan motorik halus atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan, misalnya menulis, mengancing baju, memegang sendok, dll.
  3. Terapi wicara

"Jika ketiga terapi ini sudah bisa dipenuhi anak, maka boleh deh mencoba terapi relaksasi yang agak mahal seperti terapi lumba-lumba. Tapi kalau anak belum bisa bicara, masa iya mau diterapi lumba-lumba, memangnya lumba-lumba bisa mengajak anak bicara. Terapi lumba-lumba berfungsi untuk membuat anak lebih rileks. Bila orangtua tidak punya banyak biaya, maka cukup lakukan tiga terapi dasar itu yang bisa juga dilakukan orangtuanya sendiri tanpa banyak mengeluarkan biaya," jelas Gayatri.

Gayatri menjelaskan memberikan terapi yang tepat ini termasuk dalam pilar pendidikan yang tepat. Jika anak sudah diajarkan tiga terapi dasar ini, maka anak bisa lebih siap dimasukkan ke sekolah.
Jika 2 dari 7 Pertanyaan Ini Dijawab Tidak = Anak Berisiko Autis
EmailCetakPDF
 Merry Wahyuningsih - detikHealth
Jakarta, Banyak orangtua yang tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa anaknya menyandang autis. Padahal bila autis dideteksi secara dini, maka bisa membuat peluang anak autis untuk mandiri lebih besar. Setidaknya ada 7 ciri utama autisme.

Diperkirakan sekitar 67 juta orang di dunia menyandang autis. Autisme diyakini sebagai gangguan perkembangan serius yang meningkat paling pesat di dunia.

Hingga kini, tidak diketahui secara pasti
penyebab penyakit tersebut dan belum ada obat yang dapat menyembuhkannya. Namun, deteksi dan penanganan dini akan membantu perbaikan perkembangan anak penyandang autis.

"Dari studi lebih dari 20 tahun yang dilakukan Robins D dkk dalam 'The Modified Checklist for Autism in Toodlers, Journal of Autism and Development Disorders' ada 7 checklist yang bisa digunakan untuk mendeteksi autis secara dini," jelas Gayatri Pamoedji, SE, MHc, Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI), dalam acara Media Briefing Peluncuran Komik Autisme Pertama di Indonesia di Rumah MPATI, Jakarta, Rabu (30/3/2011).

Gayatri menyampaikan 7 ciri utama untuk mendeteksi anak autisme, yaitu:
  1. Apakah anak Anda memiliki rasa tertarik pada anak-anak lain?
  2. Apakah anak Anda pernah menggunakan telunjuk untuk menunjukkan rasa tertariknya pada sesuatu?
  3. Apakah anak Anda menatap mata Anda lebih dari 1 atau 2 detik?
  4. Apakah anak Anda meniru Anda? Misalnya, bila Anda membuat raut wajah tertentu, apakah anak Anda menirunya?
  5. Apakah anak Anda memberi reaksi bila namanya dipanggil?
  6. Bila Anda menunjuk pada sebuah mainan di sisi lain ruangan, apakah anak Anda melihat pada mainan tersebut?
  7. Apakah anak Anda pernah bermain 'sandiwara' misalnya berpura-pura berbicara di telepon atau berpura-pura menyuapi boneka?

Seorang anak berpeluang menyandang autis jika minimal 2 dari pertanyaaan diatas dijawab tidak.

"Tidak semua anak yang berpeluang menyandang autis memenuhi kriteria autis. 7 ciri utama ini digunakan agar orangtua dan guru waspada untuk segera memeriksa dan mendiagnosa anak yang berpeluang autis kepada dokter terdekat," jelas Gayatri.

Menurutnya, Modified Checklist for Autism in Toodlers bisa digunakan untuk mendeteksi gejala autis untuk anak usia 18 bulan atau sebelum 3 tahun.

"Karena gejala autisme biasanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun," lanjut Gayatri yang juga seorang ibu dari remaja penyandang autis.

Menurutnya, bila orangtua sudah bisa mendeteksi gejala autisme secara dini maka mereka akan memiliki peluang yang semakin besar untuk membuat anaknya menjadi mandiri.

"Yang penting membuat anak mandiri dan jauhkan mitos-mitos yang salah tentang autis. Punya anak autis memang berat tapi bukan akhir dari segalanya. Setipis apapun, harapan itu pasti ada," tegas Gayatri.

Penyandang Autis Penyandang Autis Punya Kemampuan Visual Luar Biasa
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikSurabaya
London - Orang dengan autisme ternyata mengembangkan bagian otak yang berbeda. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bagian otak yang berhubungan dengan kemampuan visual penyandang autis berkembang sangat baik.

Hal ini dapat menjelaskan mengapa sebagian besar penyandang autis memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat dan menggambarkan benda-benda secara detail.

Hasil penelitian dari University of Montreal menunjukkan bahwa pada orang autis, area otak yang berhubungan dengan informasi visual yang sangat berkembang. Sedangkan area otak lainnya kurang aktif, yaitu bagian otak yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan perencanaan.

Para peneliti percaya bahwa temuan ini bisa mengarah pada cara-cara baru untuk membantu penyandang autis hidup dengan kondisi lebih baik.

"Misalnya, ini mungkin menunjukkan cara untuk membantu penyandang autis untuk melek huruf dengan cara yang jauh lebih alami daripada metode biasa," kata Dr Laurent Mottron dari University of Montreal, seperti dilansir BBC News, Selasa (5/4/2011).

Menurut Dr Mottron, kecenderungan orang berpikir bahwa autisme adalah suatu bentuk dis-organisasi. "Tapi di sini, apa yang kita lihat bahwa hal itu adalah re-organisasi dari otak," lanjut Dr Mottron.

Para ahli yang menangani autisme juga menganggap temuan penelitian ini sebagai hasil yang signifikan.

"Kajian ini menyoroti bahwa autisme seharusnya tidak hanya dilihat sebagai suatu kondisi dengan kesulitan perilaku, tetapi juga harus dikaitkan dengan keahlian khusus," kata Dr Christine Ecker dari Institute of Psychiatry di Kings College, London.

Menurutnya, program ini menawarkan wawasan yang unik mengenai cara penyandang autisme melihat lingkungannya dan membantu keluarga dan profesional untuk memahami sebagian dari perilaku penyandang autisme.

"Mengetahui kekuatan dan kesulitan dari seseorang dengan autisme dapat membantu untuk lebih memahami kebutuhan mereka dan membantu mereka memaksimalkan potensi mereka," Dr Ecker.

Penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Human Brain Mapping ini merupakan hasil dari 15 tahun data yang mempelajari cara kerja otak autis.

Carol Povey dari National Autistic Society mengatakan penelitian ini menarik karena mulai menunjukkan mengapa orang dengan autisme sering menunjukkan satu bagian yang kuat untuk fokus dan perhatian.

"Beberapa orang dewasa dengan autisme mengembangkan cara-cara sendiri untuk mengatasi pengalaman ini, beberapa mencari tempat tenang dan tenang, sementara yang lainnya menemukan outlet kreatif, seperti seni, yang dapat membantu mereka memproses kedua informasi serta memberikan orang lain wawasan bagaimana mereka melihat dunia," jelas Povey.

Pemahaman yang lebih untuk memahami autisme mempengaruhi cara pemrosesan sensori. Semakin banyak orang dengan autisme, keluarga dan profesional dapat mengembangkan strategi untuk membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah.
Otak Anak Autis Bekerja dengan Cara Beda
EmailCetakPDF
KOMPAS.com - Anak-anak penyandang autisme ternyata menggunakan otaknya dengan cara yang berbeda dengan orang lain. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa beberapa anak autis memiliki kemampuan menghapal dan mampu menggambar objek dengan sangat detail.
Menurut para peneliti dari Universitas Montreal, Kanada, pada penyandang autisme, area otak yang berkaitan dengan fungsi informasi visual sangat berkembang. Sementara itu, bagian otak lainnya kurang aktif terutama pada area yang berkaitan dengan pembuatan keputusan dan perencanaan.
Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa penyandang autisme biasanya lebih unggul dalam hal tugas-tugas visual, misalnya menggambar sesuatu dengan sangat akurat dan detail. Akan tetapi, anak autis biasanya kesulitan menerjemahkan ekspresi wajah.
Kondisi otak tersebut bervariasi tiap individu sehingga ada penderita autisme yang sama sekali tidak bisa mengambil peran dalam kehidupan sosial.
Para pakar autisme menyambut baik hasil riset ini. "Studi ini menekankan bahwa autisme seharusnya tidak dipandang sebagai kesulitan perilaku tapi berkaitan dengan keunggulan dalam satu skill tertentu," kata Dr.Christine Ecker dari Institute of Psychiatry di Kings College London.
Dengan memahami kekurangan dan kelemahan para penyandang autisme diharapkan dapat memberi pemahaman lebih baik untuk memaksimalkan potensi mereka.
Mengapa Autisme Sering Dialami Anak Laki-laki?
EmailCetakPDF
Kompas.com- Studi-studi terbaru mulai menguak misteri mengapa autisme empat kali lebih sering dialami anak laki-laki dibanding anak perempuan.
Penelitian menunjukkan bahwa hormon testosteron dan estrogen memiliki efek bertolak belakang pada gen yang disebut RORA. Pada sel saraf, testosteron akan menurunkan kemampuan sel untuk berekspresi atau menghidupkan gen RORA. Sebaliknya, estrogen akan menaikkan kemampuan sel.
"Autisme sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Dari penelitian diketahui tingginya kadar testosteron pada janin beresiko tinggi menyebabkan anak autisme," kata ketua peneliti Valerie Hu, pakar biokimia dan biologi molekuler dari Universitas George Washington.
Normalnya, tugas RORA di dalam sel adalah menghidupkan gen lain. Ketika sel memiliki kadar testosteron yang tinggi, kadar RORA akan menurun sehingga memengaruhi setiap gen yang seharusnya dihidupkan oleh RORA. Pengetahuan ini didapatkan dari riset pada sel saraf yang ditumbuhkan di laboratorium.
Penelitian memang tidak menunjukkan bahwa level RORA yang rendah akan menyebabkan autisme selain kaitan antara kondisi tersebut.
Beberapa penelitian telah menunjukkan defisiensi RORA bisa menjelaskan berbagai aspek yang terlihat pada anak autisme. Misalnya saja gen itu seharusnya melindungi sel saraf dari dampak stres dan inflamasi. Stres dan inflamasi biasa ditemui pada otak anak yang autisme.
Riset juga menunjukan jaringan otak anak yang autis mengandung RORA lebih sedikit dibanding anak yang sehat. RORA juga dipercaya membantu ritme sirkadian tubuh. Itu sebabnya anak yang autis sering mengalami gangguan tidur.
Berbeda dengan testosteron, estrogen akan meningkatkan kadar RORA di dalam sel. "Ini berarti janin perempuan akan terlindung dari autisme," kata Hu.
Memang RORA bukan gen tunggal yang terlibat dalam kejadian autisme, namun menurut Hu peranan RORA sangat pentin
Anak Autisme Tidak Boleh Sembarang Makan
EmailCetakPDF
INILAH.COM, Jakarta - Autis adalah gangguan perilaku yang luas dan berat, mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku motorik, emosi, dan persepsi sensorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
Dalam banyak kasus, gejala autis muncul sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan dalam beberapa kasus gejala autis justru sudah nampak sejak lahir.
Selama puluhan tahun penyebab gejala autis masih misteri dan baru sekitar 10 tahun terakhir diketahui adanya kelainan struktur otak yang menjadi penyebab.
Dr dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi yang tertarik meneliti tentang autisme, terutama tentang pengaruh makanan dan minuman terhadap autisme. "Saya tertarik dengan persoalan autisme sejak 1985, ketika itu saya masih kuliah," kata Nugraheni yang kini menjabat Kepala Bidang Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Penyandang autisme di dunia kini cenderung meningkat. Penelitian terakhir dari Autism Reseach Centre of Cambridge University menyebutkan ada 58 anak autis per 10.000 kelahiran.
"Padahal, sekitar 10 tahun lalu hanya ada sekitar 2-4 anak autis per 10.000 kelahiran, sehingga di Indonesia diperkirakan lahir 6.900 anak autis per tahun," katanya.
Karena itu, ia terdorong melakukan penelitian tentang pengaruh asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi anak autis dengan mengambil sampel di Semarang dan Solo.
Menurut dia, penyandang autis kemungkinan dapat diatasi dengan makanan atau minuman tertentu, sebab makanan dan minuman memiliki pengaruh cukup besar bagi kehidupan.
Ada penelitian yang menyatakan bahwa diet terhadap makanan dan minuman yang mengandung gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu) berpengaruh besar terhadap autisme.
Namun, kata dia, beberapa pendapat justru meragukan kebenaran teori itu karena belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
"Penelitian itu sebenarnya sangat membantu para orang tua yang memiliki anak autis, agar mereka tahu makanan dan minuman apa saja yang harus dihindari," katanya.
Ia mengambil sampel 160 anak autis dari enam empat terapi di Semarang yang dinamakan kelompok intervensi dan 120 anak autis dari lima tempat terapi di Solo yang dinamakan kelompok kontrol.
Lewat penelitian itu, ia menganjurkan diet ketat menghindari asupan mengandung casein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju.
Para orang tua anak penyandang autis juga diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal kepada anaknya.
"Setelah itu, kami mengadakan pengamatan dan konseling kepada setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas casein dan gluten, setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.
Pengamatan dan konseling secara rutin dan terus-menerus itu penting, terutama untuk memonitor apakah diet bebas casein dan gluten masih dijalankan dengan benar.
Menggembirakan
Setelah melakukan pengamatan dan pengawasan diet selama tiga bulan itu, ia menemukan perkembangan yang cukup baik bagi penyandang autis, terutama dalam perubahan perilaku yang positif.
"Gangguan perilaku interaksi sosial, antara lain rasa malu tidak wajar, tidak ada kontak mata, suka menyendiri mengalami penurunan signifikan," katanya.
Gangguan komunikasi nonverbal, lanjutnya, seperti bergumam kata-kata tidak bermakna, nada dan volume bicara tidak wajar, menarik tangan orang juga berkurang.
Ia mencatat pula bahwa gangguan perilaku motorik, antara lain hiperaktif dan berjalan secara tidak wajar turut berkurang, seperti halnya gangguan emosi dan persepsi sensorik, misalnya suka menjilat dan tidak merasa sakit jika terluka.
Hasil diet yang menggembirakan itu ditunjang oleh berbagai penelitian di bidang metabolisme yang menunjukkan banyak anak autis mengalami gangguan metabolisme, salah satunya kelainan pencernaan.
"Kelainan pencernaan yang ditemukan pada anak autis adalah adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan, tepatnya di mukosa usus," katanya.
Di sisi lain, kata dia, casein dan gluten ternyata merupakan protein yang paling susah dicerna karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut peptide.
Ia mengatakan, peptide dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk ke dalam sirkulasi darah.
"Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urin dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak," katanya.
Nantinya, peptide itu akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.
Diet bebas gluten dan casein itu sebenarnya merupakan terapi penunjang yang tidak dapat bersifat langsung menyembuhkan autisme, namun diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan. [*/mor]

Saudara Kandung Penderita Autis Bisa Lamban Bicara
EmailCetakPDF
INILAH.COM, Jakarta - Sebanyak satu dari lima bersaudara seorang anak autis mungkin mengalami masalah lamban dalam berbicara bahasa. Ini berdasarkan hasil penelitian baru yang melibatkan hampir 3.000 anak-anak.

Namun belum jelas apakah hal ini menunjukkan bentuk ringan dari gangguan spektrum autisme, atau ada jenis intervensi lainnya. Jika ada, mungkin diperlukan upaya membantu anak-anak tersebut.

"Penelitian kecil melaporkan bahwa pada keluarga dengan anak autis, banyak anak yang tidak memiliki diagnosis autisme telah mengalami keterlambatan bahasa," kata penulis utama studi tersebut, Dr John Constantino, profesor psikiatri dan pediatri di Universitas Washington School of Medicine di St Louis.

"Ketika kita melihat hal ini dalam sampel yang besar, kita melihat hal yang sama. Sekitar 20% dari anak-anak yang dianggap sebagai non-autistik memiliki keterlambatan bahasa dan kualitas autistik dalam pidato mereka. Pada umumnya prevalensi sifat-sifat ini hanya sekitar 7% dalam populasi," katanya.

Hasil penelitian itu diterbitkan dalam American Journal of Psychiatry, edisi November 2010.

Meskipun banyak saudara kandung anak-anak dengan autisme sama sekali tidak terpengaruh oleh gangguan, gangguan ini jauh lebih mungkin untuk menyerang saudara kandung dari seseorang dengan autisme, atau dari seseorang tanpa saudara yang terkena autisme. Bahkan, risiko saudara dari seseorang dengan autisme memiliki gangguan adalah 22 kali lipat lebih tinggi.

Pertanyaan menggoda lebih lanjut adalah apakah ciri autis tertentu - kondisi yang mungkin tidak memicu diagnosis autisme, tetapi tetap saja masih bisa menimbulkan masalah - mungkin lebih umum pada saudara kandung anak-anak dengan diagnosis autisme.

Para peneliti menggunakan data dari warga AS dengan keluarga berbasis internet. Daftar pertanyaan disusun oleh Interactive Autisme Network, yang mencakup lebih dari 35.000 peserta. Selain memberikan informasi tentang anak-anak dalam keluarga mereka yang didiagnosis dengan autisme, beberapa orang tua juga menyelesaikan kuesioner Social Responsiveness Scale pada setiap anak-anak yang tinggal di rumah mereka berusia antara 4-18 tahun.

Sebanyak 1.235 keluarga, termasuk hampir 3.000 anak-anak, memberikan semua informasi yang diperlukan untuk penelitian ini.

Studi ini menemukan bahwa 10,9% keluarga memiliki lebih dari satu anak dengan diagnosis autisme, dan 20% tambahan memiliki anak-anak yang tidak didiagnosis dengan autisme, tetapi mengalami keterlambatan bahasa. Setengah dari kelompok dengan keterlambatan bahasa juga memiliki kualitas autistik dalam pola bicara mereka.

Studi ini juga menemukan bahwa anak perempuan lebih mungkin memiliki sifat gangguan spektrum autisme potensial. Mereka berpendapat bahwa jika ini diperhitungkan, maka ada kesenjangan yang luas antara anak laki-laki versus perempuan yang didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme.

"Temuan studi ini juga memberikan bukti lebih lanjut bahwa gangguan spektrum autisme, setidaknya sebagian karena faktor genetik,"
Autisme Bisa Dideteksi dengan Pemindai Otak
EmailCetakPDF
INILAH.COM, London - Ilmuwan Inggris telah mengembangkan pemindai otak selama 15 menit yang bisa mendeteksi autisme pada anak-anak. Kehadirann pemindai ini bisa memotong waktu pemeriksaan dan biaya untuk mendiagnosis gangguan ini.

Peneliti dari Institute of Psychiatry di King's College London, Selasa (10/8), menerbitkan rincian dari teknik yang telah diuji pada orang dewasa, dan terbukti memiliki akurasi 90% dalam mendeteksi autisme.

Anak-anak yang diduga mengidap autisme saat ini harus melalui proses tes panjang interaksi sosial, komunikasi, dan ketrampilan imajinatif. Jarang hasil diagnosis bisa diketahui sebelum 18 bulan, malah paling sering terjadi lebih dari itu.

Christine Ecker, anggota tim riset mengatakan alat pemindai ini bisa bermanfaat 'besar'. "Itu bisa membantu meringankan proses. Diagnosis emosional memakan waktu dan mahal bagi penderita ASD (autis gangguan spektrum) dan keluarga saat ini harus tahan," katanya.

"Kami sekarang berharap metode pengujian ini bisa membantu anak-anak," katanya.

Para ilmuwan Inggris berharap metode baru bisa lebih cepat dan lebih hemat biaya sampai 20 kali.

Biaya penggunaan alat pemindai ini antara US$160-US$300, jauh lebih murah daripada alternatif saat ini di Britania.

Teknik ini menilai perubahan struktural dalam otak. Alat pemindai ini akan melalui proses ujicoba selama dua tahun sebelum siap diluncurkan penggunaannya untuk umum.

Gangguan autisme dan penyakit sejenis diidap oleh enam atau tujuh dari setiap 1.000 orang. Gejala seumur hidup bisa sangat bervariasi, namun seringkali termasuk gangguan ketrampilan sosial, perilaku berulang, kesulitan dalam mengekspresikan emosi seseorang, dan keengganan untuk keintiman fisik. Belum ada obat untuk penyakit ini.

Teknik baru yang dikembangkan oleh Institute of Psychiatry melibatkan peneliti yang mengambil gambar otak dengan pemindai pencitraan resonansi magnetis. Hasil pindai direkonstruksi menjadi gambar tiga dimensi dan dianalisis dengan perangkat lunak komputer yang diprogram untuk menemukan ciri autis pada struktur wilayah otak yang berbeda.

Hasil pengujian teknik melibatkan 20 orang dewasa penderita autisme. Jumlah yang sama sebagai kelompok kontrol terdiri dari relawan yang sehat. Hasil pengujian diumumkan pada Selasa (10/8) di Journal of Neuroscience.

Semua yang mengambil bagian sebagai objek penelitian adalah laki-laki berusia 20-68. Setelah pertama diminta untuk menjalani prosedur diagnostik konvensional, masing-masing peserta otaknya dipindai. Hasil dari kedua teknik itu kemudian dibandingkan.

Metode pemindaian otak hasilnya 90% akurat bisa mengidentifikasi pasien autistik. Ini juga menunjukkan hasil negatif 80% kasus untuk kontrol sehat. [mor]
Tipe-Tipe Autisme yang Perlu Anda Tahu
EmailCetakPDF
Agar tepat menanganinya, kenali 5 tipe autisme berikut ini.

VIVAnews
- Seringkali orang menganggap autisme sebuah penyakit. Namun, autisme merupakan gejala keterbatasan gangguan perkembangan, termasuk autisme ringan hingga gangguan mental berat (PDD).

Penderita austisme memiliki kesulitan berkomunikasi dan memahami perkataan dan perasaan orang lain. Akibatnya, penderita sering kesulitan mengekspresikan diri melalui kata, bahasa tubuh, raut wajah dan sentuhan. Anak yang mengidap autisme sangat sensitif terhadap suara, sentuhan, bau, dan pemandangan yang bagi orang lain dianggap normal. Autisme menyerang enam hingga delapan anak setiap 1.000 kelahiran.

Orangtua dapat mendeteksi gejala autisme sejak usia tiga tahun. Beberapa anak menunjukkan tanda-tanda autisme sejak lahir. Sebagian lainnya tumbuh normal dan  namun mengalami gejala autisme pada usia 18-36 bulan. Anak laki-laki penderita autisme empat kali lebih banyak daripada anak perempuan. Gejala autisme tidak mengenal suku, etnis, atau kondisi sosial lainnya seperti pendapatan, gaya hidup, atau tingkat pendidikan orang tua.

Berikut beberapa jenis autisme:
* Gangguan autistik
Gejala ini sering diartikan orang saat mendengar kata autisme. Penderitanya memiliki measalah interaksi sosial, berkomunikasi, dan permainan imaginasi pada anak di bawah usia tiga tahun.

* Sindrom Asperger
Anak yang menderita sindrom Asperger memiliki problem bahasa. Penderita sindrom ini cenderung memiliki intelegensi rata-rata atau lebih tinggi. Namun seperti halnya  gangguan autistik, penderita kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi.

* Gangguan perkembangan menurun (PDD)
Gejala ini disebut juga non tipikal autisme. Penderita memiliki gejala-gejala autisme, namun berbeda dengan jenis autistik lainnya.

* Sindrom Rett
Sindrom ini terjadi hanya pada anak perempuan. Mulanya anak tumbuh normal. Pada usia satu hingga empat tahun, terjadi perubahan pola komunikasi, dengan pengulangan gerakan tangan dan pergantian gerakan tangan.

* Gangguan Disintegrasi Anak
Pada gejala autisme ini, anak tumbuh normal hingga tahun kedua. Selanjutnya anak akan kehilangan sebagian atau semua kemampuan komunikasi dan keterampilan sosialnya.

Para peneliti memperkirakan kombinasi gen dalam keluarga menyebabkan subtipe autisme. Bahan kimia atau obat-obatan yang masuk dalam tubuh ibu selama kehamilan berperan dalam gejala autisme. Dalam beberapa kasus, autisme berkaitan dengan tingkat phenylketonuria (gangguan metabolisme yang disebabkan tidak adanya hormon tertentu), virus rubella, dan penyakit celiac (tidak mampu menoleransi gluten dalam tepung).

Walaupun penyebab autisme belum diketahui pasti, peneliti menilai autisme disebabkan ketidaknormalan bagian otak yang mengintrepretasi bahasa. Ketidakseimbangan kimiawi otak mempengaruhi terjadinya gejala autisme.
Lahir di Pekan 39, Bayi Berisiko Autisme
EmailCetakPDF
LONDON, KOMPAS.com -  Bayi yang lahir satu minggu lebih awal dari masa kandungan normal berisiko lebih besar mengalami problem kesehatan seperti autisme dan gangguan pendengaran, demikian hasil riset yang dimuat jurnal Public Library of Science Medicine.

Menurut penelitian, bayi-bayi yang lahir pada kehamilan 39 minggu –  masa di mana para ibu juga kerap merencanakan untuk bedah cesar – cenderung lebih rentan mengalami kesulitan belajar dibandingkan mereka yang lahir pada usia kandungan 40 minggu.

Kesimpulan ini merupakan analisis para ahli dari Glasgow University Skotlandia terhadap data kelahiran lebih dari 400.000 anak.  Mereka menemukan, bayi-bayi yang lahir pada minggu ke-37 hingga 39 berisiko 5,1 persen mengalami gangguan, sedangkan bayi yang lahir di minggu ke-40 hanya berisiko 4 persen.

Dengan semakin maraknya prosedur bedah caesar saat kandungan berusia 39 minggu, temuan ini memunculkan suatu kekhawatiran. Para ibu yang memilih operasi caesar tanpa alasan medis yang kuat berarti menempatkan anak-anak mereka dalam risiko lebih besar mengalami kesulitan belajar.

Jill Pell, profesor dari Glasgow University menyatakan para ibu dan dokter sebaiknya mempertimbangkan lagi risiko ini sebelum menjalani bedah caesar.

Tak seperti risiko bayi yang lahir sebelum usia kandungan 24 minggu yang sudah banyak diketahui, risiko kesehatan bayi yang lahir lebih cepat satu pekan dari yang dijadwalkan memang belum banyak diteliti.  Padahal, ada sekitar 30 persen bayi yang dilahirkan antara usia kandungan 37 dan 39 minggu.

Menurut data WHO, jumlah wanita yang memilih bedah caesar terus meningkat di dunia.  Bahkan jumlah bedah caesar tanpa alasan medis yang jelas semakin meningkat secara signifikan.

Dari data 400 ribu anak yang dianalisa dalam riset ini, 18.000 ribu di antaranya dikategorikan anak dengan kebutuhan khusus seperti, mengidap autisme disleksia, ADHD, dan buruknya penglihatan.
Alat Ini Mendeteksi Autisme dari Suara
EmailCetakPDF
WASHINGTON, KOMPAS.COM - Autisme pada anak dapat dideteksi dengan cara menganalisa suara mereka. Anak-anak penyandang autisme mengucapkan kata-kata dengan cara yang berbeda dibandingkan anak-anak normal.  Hal inilah yang kemudian dijadikan modal bagi para ahli untuk menciptakan suatu alat  khusus untuk mendiagnosa autisme lewat analisa suara.

Alat ini berupa perekam kecil yang muat pada saku baju anak. Pada alat ini tertanam sejenis piranti lunak guna menganalisa dan mengevaluasi suara-suara tertentu yang diucapkan anak-anak sepanjang hari.

Perangkat ini adalah hasil kreasi para ahli yang dipimpin Kimbrough Oller dari Universitas Memphis, Amerika Serikat. Untuk membuat alat ini, Oller dan timnya menganalisa lebih dari tiga juta pelafalan suku kata, yang dikumpulkan dari 1.500 rekaman 232 anak berusia 10 bulan hingga empat tahun.

Seperti dilaporkan jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, program yang ditanam pada alat ini mampu secara tepat mengidentifikasi 86 persen diagnosa autisme yang ada.

"Walau para ahli menyatakan selama bertahun-tahun bahwa anak autis bersuara lain saat berbicara, belum ada cara praktis menggunakan vokalisasi sebagai bagian dari diagnosa atau proses pemeriksaan yang sejalan dengan autisme," kata Oller, yang juga profesor audiologi dan patologi cara bicara bahasa.

Alat ini untuk sementara dapat berfungsi menganalisa suara dalam bahasa Inggris, tetapi Oller yakin piranti lunaknya dapat diaplikasikan pada bahasa lain. "Teknik ini belum pernah dicoba, tetapi saya pikir bisa bekerja," katanya.

Saat ini, para dokter menegakkan diagnosa autisme dengan cara menguji anak-anak dengan sejumlah tes perilaku dan pola bicara, termasuk bagaimana mereka berbicara pada usia tertentu, dan apakah mereka melakukan kontak mata dengan orang lain.

"Autisme adalah kerusakan multi faktor dan banyak dimensi perilaku yang harus dipertimbangkan. Vokalisasi jelas merupakan faktor penting, tetapi saya tidak berpikir ini harus digunakan secara ekslusif," kata Oller.

Oller, yang meneliti pembelajaran dan evolusi bahasa, telah mengidenfikasi bagaimana pembentukan silabel yang berbeda berubah pada empat tahun pertama usia anak.

Menurut hasil analisa, pembentukan pola bicara anak autis tidak mengikuti pola yang umum. Program komputer mampu membedakan antar pembicara dan memproses suara yang diucapkan anak yang sedang diteliti. Rekaman sehari penuh memungkinkan peneliti untuk memeriksa pola bicara anak secara alami.

Para orang tua dapat mengirim hasil rekaman setelah anaknya menggunakan alat ini selama seharian. Hasil rekaman dikirim ke suatu perusahaan  untuk dianalisa. Adalah Infoture Inc. yang mengembangkan alat dan piranti lunak tersebut. Perusahaan ini bubar pada Februari 2009 dan didirikan kembali dengan berbentuk yayasan bernama LENA Foundation. Yayasan inilah yang menjual alat dan mendanai riset.
Jarak Kehamilan Memicu Risiko Autisme
EmailCetakPDF
KOMPAS.com — Jarak kehamilan yang terlalu rapat memang mengundang risiko bagi para wanita. Penelitian terbaru menyatakan, ibu yang hamil lagi dalam waktu setahun setelah melahirkan berisiko menyebabkan autisme pada calon anak mereka kelak.
Kehamilan berturut-turut membuat ibu bisa kepayahan. Para ilmuwan dari New York AS menyebutkan, wanita butuh waktu untuk pulih dari kehamilan. Selain itu, kehamilan yang terjadi dalam jangka waktu pendek akan menyebabkan anak-anak yang dilahirkan rentan mengalami kekurangan gizi.
Kesimpuan itu didasarkan atas riset terhadap 600.000 keluarga di California. Para ilmuwan mencatat kasus autis di antara 663.000 anak kedua yang lahir di California antara tahun 1992 sampai 2002.
Setelah mendapatkan data lengkap, para ilmuwan memeriksa interval kehamilan anak pertama dan kedua, memperhitungkan usia orangtua, latar belakang, etnis, pendidikan ibu, dan apakah orangtua memiliki asuransi kesehatan.
"Hasilnya, kami menemukan bahwa anak-anak yang lahir setelah interval kehamilan yang lebih pendek mempunyai peningkatan risiko autisme" jelas salah satu peneliti, Dr Keely Cheslack Postava, dari Columbia University, New York
Risiko tertinggi ada pada anak yang dikandung setelah sang ibu melahirkan anak sebelumnya kurang dari setahun.
"Anak yang dikandung dalam tahun kelahiran yang sama dengan kakaknya memiliki 3,4 kali lebih tinggi menyandang autisme, sedangkan anak yang dikandung 12 hingga 13 bulan setelah kelahiran kakaknya memiliki 1,9 kali lebih tinggi risiko menyandang autis," ujar Postava.
Menanggapi hasil penelitian ini, pihak National Autistic Society, Inggris, menjelaskan agar orangtua harus waspada, tetapi tak perlu terlalu khawatir.
"Walaupun penelitian ini sangat berguna, tetapi kami sebelumnya telah melihat ribuan kasus baik anak pertama maupun anak berikutnya lahir dengan interval lebih dari 12 bulan kemudian memiliki diagnosis autis. Jadi kita tak perlu terlalu khawatir," ujar juru bicara National Autistic Society. (fen)
Jebakan "Shopping Therapy" pada Penyandang Autisme
EmailCetakPDF
DENPASAR, KOMPAS.com - Para orang tua yang memiliki anak autis seringkali terjebak pada perilaku "shopping therapy" atau berpindah-pindah tempat terapi karena mereka tidak sabar.  Alhasil, terapi yang dijalani penyandang autisme menjadi tidak efektif karena dilakukan secara tidak berkelanjutan.
"Shopping therapy ini menyebabkan terapi terhadap si anak tidak efektif karena polanya tidak berkesinambungan dan mungkin ada yang terputus," ungkap Koordinator Pusat Tumbuh Kembang Anak Berkebutuhan Khusus Denpasar dr Ni Luh Putu Sudiani, Kamis (20/1/2011).
Putu Sudiani mengemukakan, orang tua yang memiliki anak penyandang autis kerap tidak sabar melihat perkembangan si anak yang dinilainya lambat. Karena itu mereka berharap di tempat terapi lain bisa segera berhasil.
"Padahal tidak seperti itu. Orang tua memang harus ekstra sabar karena untuk satu kemampuan saja butuh waktu lama, seperti untuk kemampuan anak bisa kontak mata dengan orang lain saja butuh waktu dua tahun," tegas dokter yang juga memiliki anak penyandang autis itu.
Akibat keinginan yang menggebu-gebu agar anaknya segera berkembang sama dengan anak normal seusianya, maka orang tua berpindah-pindah dari satu tempat terapi ke tempat lainnya.
"Kalau di tempat terapi yang baru terapisnya kooperatif, maka catatan perkembangan dan terapi sebelumnya yang dijalani si anak akan dibaca dan dipelajari. Tapi kalau terapisnya tidak mau mempelajari catatan perkembangan itu, maka dimulai dari awal lagi," katanya.
Menurut dia, memiliki anak dengan gangguan autis memang harus berbesar hati dan menerima segala resikonya. Dengan sikap demikian, maka orang tua akan melakukan terapi pada anak dengan tidak mengedepankan target terlalu tinggi.
"Memang sikap orang tua kebanyakan dari anak autis yang tidak sabar itu wajar karena mereka ingin anaknya sama seperti anak-anak normal. Saya juga mengalami hal seperti itu, sehingga saya menemukan kuncinya adalah sabar dan sabar," kata lulusan FK Universitas Udayana Denpasar ini.
Selain itu, katanya, memiliki anak autis memang membutuhkan biaya yang sangat besar karena harus menjaga makanan yang seimbang, termasuk untuk terapi.
Kehadiran pusat penanganan autis yang dikelola Putu Sudiani sejak Oktober 2010 ini diharapkan bisa meringankan beban orang tua yang memiliki anak autis. "Pusat pendidikan yang dibidani oleh Ibu Wali Kota ini memang didedikasikan untuk anak autis sesuai dengan program kota ramah anak. Di sini tidak ada uang pangkal dan uang pembangunan sehingga lebih murah dibandingkan tempat terapi lain," katanya.
Tips Bepergian dengan Anak Autis
EmailCetakPDF
KOMPAS.com — Anak penderita autisme menyukai hal-hal yang rutin dan terstruktur. Karena itu, bepergian berarti mengganggu rutinitas mereka. Tak heran bila banyak orangtua yang memiliki anak autis menghindari acara bepergian. Padahal, dengan tips berikut, orangtua tetap bisa mengajak anak autis melakukan perjalanan jauh untuk liburan.

1. Jelaskan tempat tujuan
Sebelum bepergian, jelaskan kepada anak tentang tempat tujuan yang akan didatangi. Demikian saran dari Daniel Openden, Direktur Southwest Autism Research and Resource Center, Phoenix, AS. "Tunjukkan foto atau film mengenai lokasi yang akan dikunjungi. Ceritakan pula alasan datang ke tempat tersebut dan kegiatan yang akan dilakukan di sana," katanya.

2. Bepergian dengan pesawat
Jelaskan kepada awak pesawat mengenai kondisi anak Anda. Untuk mengusir rasa bosan di dalam pesawat, siapkan buku atau mainan untuk anak. Bawalah permen, terutama bila Anak tidak bisa berkomunikasi verbal dan tidak bisa mengungkapkan bila telinganya berdengung.

3. Menginap
Berencana untuk menginap di hotel selama liburan? Anda bisa mulai mengajarkan anak untuk menginap di tempat lain, bisa di rumah kerabat atau hotel di kota untuk satu malam agar anak terbiasa dengan suasana tidur yang lain. Agar anak tidak terlalu "kaget" dengan suasana baru, bawalah bantal atau selimut yang biasa dipakainya.

4. Keamanan
Untuk berjaga-jaga, kenakan tanda pengenal yang berisi data diri dan nomor telepon Anda. Bawalah juga foto anak untuk ditunjukkan pada polisi bila si kecil terpisah dari Anda.

5. Sesuaikan minat anak
Agar si kecil menikmati perjalanannya, ajak ia mengunjungi tempat-tempat yang sesuai dengan minatnya. Misalnya ke Sea World bila ia tertarik pada hewan laut atau ke kolam renang bila ia suka berenang. Hindari jadwal yang terlalu padat, luangkan waktu agar anak bisa bermain-main di kamar hotel agar si kecil tak terlalu lela
7 Tanda Bayi Autistik
EmailCetakPDF
Kompas.com - Sebagian besar gejala autisme sudah terlihat sejak anak berusia di bawah 3 tahun. Bahkan, beberapa orangtua sudah melihat gejala autis saat bayi mereka berusia 9 bulan. Tanda-tanda autisme berikut sudah bisa dikenali sejak bayi berusia satu tahun ke atas.

1. Apakah anak Anda memiliki rasa tertarik pada anak lain? (Ya/Tidak)

2. Apakah anak Anda pernah menggunaan telunjuk untuk menunjukkan rasa tertariknya pada sesuatu? (Y/T)

3. Apakah anak Anda menatap mata Anda lebih dari satu atau dua detik? (Y/T)

4. Apakah anak Anda meniru Anda? Misalnya, bila Anda membuat raut wajah tertentu, apakah ia menirunya? (Y/T)

5. Apakah anak Anda memberi reaksi bila namanya dipanggil? (Y/T)

6. Bila Anda menunjuk pada sebuah mainan/apapun di sisi ruangan, apakah anak Anda melihat pada mainan/benda tersebut? (Y/T)

7. Apakah anak Anda pernah bermain "sandiwara" misalnya berpura-pura menyuapi boneka, berbicara di telepon, dan sebagainya? (Y/T)

Seorang anak berpeluang menyandang autis, jika minimal dua dari pertanyaan di atas dijawab Tidak. Konsultasikan hal ini kepada dokter ahli untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. 
Sumber: The Modified Checklist for Autism in Toddlers
Lima Faktor Penyebab Autisme
EmailCetakPDF
Kompas.com - Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang perkembangan: perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi timbal balik, dan perkembangan perilaku.
Hingga saat ini kepastian mengenai autisme belum juga terpecahkan. Padahal, perkembangan jumlah anak autis sekarang ini kian mengkhawatirkan. Di Amerika Serikat, perbandingan anak autis dengan yang normal 1:150, sementara di Inggris 1:100. Indonesia belum punya data akurat mengenai itu.
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini.
1. Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.
Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
2. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
3. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
4. Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.
"Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen," kata Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
5. Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.
Deteksi Anak Autis Cukup dengan Tes Urine
EmailCetakPDF
Irna Gustia - detikHealth
London, Mendeteksi anak autis tidaklah gampang. Si anak harus melewati tes psikologis yang panjang mulai dari interaksi sosial, komunikasi, uji keterampilan hingga tes fisik.

Tapi tak lama lagi, deteksi anak autis bisa dilakukan dengan cara yang sederhana dengan hanya menguji beberapa tetes air seni seperti layaknya tes kehamilan.

Ilmuwan kini tengah menyempurnakan penggunaan tes urine untuk deteksi anak autis yang diharapkan sudah bisa diterapkan penggunaannya secara luas pada tahun 2015. Dari tes ini bisa diketahui 'ya' atau 'tidak' anak terkena autis.

Penelitian yang dilakukan ilmuwan dari Imperial College London dan University of South Australia ini, adalah terobosan baru yang sangat membantu penegakkan diagnosis autis dengan cara yang mudah.

Apalagi gejala autis sudah muncul sejak anak dilahirkan. Dengan adanya diagnosis lebih awal, pengobatan anak autis bisa dilakukan sejak dini sehingga orangtua bisa lebih tanggap mengobati anaknya.

Profesor Jeremy Nicholson dari Imperial College London mengatakan urine anak-anak autis mengandung bahan kimia yang berbeda. Temuan yang disebut 'sidik jari metabolisme urine' itu telah dilaporkan dalam Journal of Proteome Research.

Peneliti menemukan ada tiga kelompok sidik jari kimia yang berbeda. Kelompok itu adalah anak-anak bukan autis tapi punya saudara autis, anak-anak tanpa saudara autis dan anak-anak autis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan autisme memiliki bakteri yang berbeda dalam ususnya dibanding orang lain.

Orang dengan autisme biasanya mengalami masalah pencernaan yang berasal dari berbagai bakteri dalam usus. Ilmuwan mengatakan pemahaman tentang bakteri ini dapat membantu pengobatan untuk mengatasi masalah pencernaan anak autis.

Ilmuwan menyarankan perlunya pemahaman baru tentang bakteri karena bisa membantu mengembangkan pengobatan untuk mengatasi masalah pencernaan anak autis.

"Kami berharap temuan ini akan menjadi jalan untuk menciptakan tes urine sederhana dalam mendiagnosa autisme pada usia dini," kata Profesor Jeremy Nicholson, kepala Departemen Bedah dan Kanker di Imperial College London seperti dilansir dari FoxNews, Minggu (6/6/2010).

Sekitar 88 persen anak autis memiliki kondisi usus yang rusak atau dikenal dengan istilah autistic colistic. Hal ini menunjukkan bahwa masalah anak autis bukan hanya pada kepala tapi juga gangguan di bagian pencernaan.

Masalah utama dari autisme ada tiga yaitu otak, racun dan fungsi pencernaannya. Karena itu tidak ada pengobatan yang instan bagi anak autis, dan dibutuhkan kesabaran serta waktu yang panjang untuk terapinya.



(ir/ir)
Sihir' Kuda untuk Anak Autis
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
London, Salah satu ciri khas anak autis adalah tak bisa mempertahankan kontak mata dan susah berinteraksi. Tapi banyak anak autis yang justru bisa berinteraksi dengan hewan, salah satunya 'sihir' kuda. Anak autis sangat nyaman dengan hewan karena hewan tak pernah menghakiminya.

Dr Temple Grandin, profesor yang fokus pada masalah pengaruh autis terhadap hewan di Colorado State University, mengatakan hewan memang sering menjadi titik sambungan antara anak autis dan orang normal.

Tatapan mata si kuda dan gerakan tubuhnya begitu menarik perhatian anak autis. Seperti yang dialami Oak Saunders si anak autis.

Oak didiagnosa autis saat berusia 2,5 tahun. Di usia itu ia berhenti berbicara, mulai bergumam monoton, serta mudah takut dan marah.

Namun Oak bisa menyusun permainan Thomas the Tank Engine hingga tinggi meski tak bisa mempertahankan kontak mata. Sepertinya tak seorang pun bisa berhubungan dengannya, sampai ia bertemu dengan seekor kuda untuk pertama kalinya.

"Ketika seekor kuda bernama Stella mendengus padanya, ia menyentuh mantelnya dan mulai tersenyum,” ujar Rowen Saunders, seperti dilansir dari Telegraph, Selasa (20/4/2010).

Sang ibu, Rowen Isaacson mengamati hubungan dekat anaknya dengan kuda ketika berusia empat tahun. Menurut Rowen, anaknya senang berlari ke lapangan yang penuh kuda dan berhubungan sangat dekat dengan mereka.

Inilah yang membuat Rowen selalu bertanya-tanya, apakah hewan tersebut memiliki 'kunci' untuk masuk ke dunia anaknya yang bahkan ia pun tak bisa memasukinya.

Sang ibu percaya ada 'sesuatu' yang membuat anaknya antusias dengan kuda. Karena ingin membuktikan teorinya Rowen melakukan hal ekstrim dengan membawa anaknya ke sebuah pengembaraan kuda di Mongolia.

Kemudian si anak juga dimasukkan ke salah satu perkemahan kuda di Inggris. Sungguh menakjubkan selama 2 minggu berinteraksi dengan kuda, si anak bisa menggunakan toilet sendiri. Perbendaharaan katanya meningkat dari 3 hingga 10 kata pada minggu pertama, dan ia memiliki teman untuk pertama kalinya.

Pada minggu kedua, ia menguasai 20 kata-kata baru, dan sekarang ia bisa menyisir rambut sendiri. "Ini adalah hal-hal kecil yang terasa seperti sebuah tonggak sejarah bagi kami," kata sang ibu.

Di perkemahan, orangtua dianjurkan untuk duduk di belakang anaknya di atas pelana kuda. Hal ini untuk melatih kerjasama dalam kemampuan verbal, dengan memberi perintah sederhana seperti 'siap, mantap, jalan!', tanpa tekanan tatap muka yang sulit bagi kebanyakan anak autis.

Menurut Profesor Grandin, setiap gerakan yang berulang, seperti berkuda, yang mengharuskan seseorang untuk terus-menerus mencari dan menyesuaikan keseimbangan, merangsang wilayah otak yang bertanggung jawab untuk belajar.

Namun sebagian besar orang masih menganggapnya aneh pengobatan autis seperti ini. Tapi Britain's National Autistic Society telah melihat adanya peningkatan pada anak autis tentang nilai terapi kuda dan anjing.

Banyak anak autis yang memang memiliki ikatan dengan hewan kesayangan. Seorang spesialis autis di Texas mengatakan anak-anak autis banyak yang dekat dengan anjing, kambing, kelinci, babi, ayam, tokek bahkan phyton.

Hewan-hewan itu dapat memainkan peran kunci dalam pencapaian anak autistik. Sentuhan sederhana yang tidak menghakimi yang diberikan hewan dapat membawa kenyamanan yang luar biasa dan membantu memecahkan hambatan komunikasi pada anak autis.
Risiko Epilepsi Pada Anak Autis
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Salah satu keadaan yang sering dihubungkan dengan autisme adalah epilepsi. Penyandang autisme memiliki risiko lebih besar untuk mengalami epilepsi dibandingkan dengan anak yang tidak autisme.

Keterlibatan gangguan otak pada autisme telah dibuktikan dengan pemeriksaan terhadap anatomi dan struktur otak, pemeriksaan terhadap bahan kimia di otak dan berbagai pemeriksaan pencitraan (imaging). Namun tak ada satupun yang dianggap sebagai
penyebab pasti dari autisme.

"Sebanyak 40 persen anak penyandang autisme juga mengalami epilepsi, sedangkan risiko pada anak bukan autisme hanya sekitar 1-2 persen saja. Sebaliknya anak yang mengalami epilepsi tertentu sering disertai dengan gejala autisme," ujar Dr Hardiono D Pusponegoro, SpA(K) dalam acara Expo Peduli Autisme 2010, di Gedung Sucofindo, Jakarta, Sabtu (17/4/2010).

Dr Hardiono menambahkan kejang adalah perubahan sementara dan tidak terkontrol dari kesadaran, perilaku, aktivitas motorik, sensasi atau fungsi otonomnya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas listrik sel saraf di otak yang berlebihan. Jika kejang terjadi lebih dari 15 menit dianggap sebagai kejang lama, sedangkan jika berlangsung lebih dari 30 menit disebut sebagai status epileptikus.

Anak dengan beberapa keadaan khusus misalnya tuberous sclerosis, rubella congenital, sindrom Down, sindrom Landau Kleffner dan electrical status epilepticus during slow-sleep dapat mengalami autisme dan epilepsi secara bersama-sama.

Seorang anak yang mengalai kejang tanpa demam untuk pertama kalinya disebut sebagai first unprovoked seizure. Sebanyak 20 persen anak yang mengalami kejang ini akan mengalami kejang kembali. Jika sudah dua kali mengalami kejang tanpa sebab maka disebut sebagai epilepsi. Epilepsi bisa terlihat sebagai bangkitan kejang umum seluruh tubuh atau hanya satu sisi (parsial) tubuh saja.

Bila seorang anak mengalami kejang tanpa sebab dua kali atau lebih, maka biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan electroencephalography (EEG). Berdasarkan pemeriksaan ini dapat diketahui aktivitas listrik sel saraf otak. Karena pemeriksaan EEG dilakukan saat anak sedang tidak terkena serangan, maka sebanyak 10-20 persen anak menunjukkan hasil EEG yang normal.

"Pemeriksaan EEG tidak dilakukan secara rutin pada anak penyandang autisme. EEG hanya bermanfaat jika anak mengalami epilepsi atau kemunduran (regresi). Dan juga tidak ada bukti bahwa kelainan EEG tanpa kejang bisa memperburuk gejala autisme," tambahnya.

Suatu penelitian jangka panjang dilakukan terhadap 108 anak penyandang autisme, didapatkan pada usia 17-40 tahun sekitar 38 persennya mengalami epilepsi. Epilepsi lebih sering ditemui pada penyandang autisme yang disebabkan oleh
penyebab medis jelas, serta kejang pertama paling sering terjadi saat usia 3-7 tahun.

"Serangan yang paling sering dialami oleh anak autis adalah absence, yaitu serangan bengong secara tiba-tiba dan terjadi belasan kali dalam sehari. Kondisi ini mudah untuk diobati," ujar dokter dari divisi saraf anak departemen ilmu kesehatan anak FKUI.

Dr Hardiono menuturkan anak autis banyak yang menunjukkan perilaku hiperaktif dan gangguan perilaku lainnya, maka tidak semua obat bisa digunakan untuk anak penyandang autis dan harus memperhatikan kemungkinan efek samping dari pengobatan yang diberikan. Karena beberapa obat sering menyebabkan anak bertambah hiperaktif dan masalah perilaku lainnya.

"Tapi satu hal yang penting untuk diingat adalah jangan sekali-kali menghentikan obat epilepsi secara mendadak atau sendiri, karena dapat menyebabkan kejang yang lebih hebat dan sulit untuk diatasi," tambahnya.
Kenapa Anak Saya Kena Autis?
EmailCetakPDF
Nurul Ulfah - detikHealth
New Jersey, Orangtua yang punya anak autis sering dibayangi terus menerus oleh pertanyaan 'kenapa harus anak saya?'. Meski banyak kemungkinan seorang anak terkena autis, tapi banyak orang tua yang tidak terima anaknya menderita autis.

"Beberapa orang tua terus mencari tahu jawaban pertanyaan tersebut dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tapi mereka tetap tidak terima anaknya terkena autis," ujar Patricia Robinson,terapis ADHD, autis dan Asperger's sindrom seperti dilansir CNN, Senin (8/2/2010).

Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur 1 tahun.

Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.

Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.

"Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya," tutur Maria.

Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.

"Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya," kata Dr Judith.

Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.

Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu
penyebab pastinya.

"Banyak orang tua yang terbangun tengah malam dan terus mencari tahu jawaban untuk teka-teki yang sebenarnya tidak perlu mereka cari tahu. Cukup menerimanya dengan lapang dada bisa menghilangkan pertanyaan yang terus menghantui tersebut," kata Dr Judith.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.

Sampai saat ini belum ada satu
penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Namun faktor genetik, lingkungan yang terpapar merkuri atau logam berat, pestisida atau antibiotik yang berlebihan diduga sebagai penyebabnya.
Anak Autis Lebih Dipengaruhi Usia Ibu Daripada Ayah
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
California, Orangtua berusia di atas 40 tahun cenderung memiliki masalah ketidaksuburan, salah satunya berisiko melahirkan anak autis. Tapi menurut studi terkini, risiko memiliki anak autis lebih dipengaruhi usia ibu, bukan ayah.

Peneliti Amerika Serikat menemukan bahwa risiko anak autis bisa terjadi jika perempuan melahirkan di atas 40 tahun atau perempuan di bawah 30 tahun yang memiliki suami di atas 40 tahun.

Perempuan berusia 40 tahun berisiko memiliki anak autis 50 persen lebih tinggi dibandingkan perempuan yang berusia 25-29 tahun. Sementara itu usia ayah yang lebih tua yaitu 40 tahun ke atas hanya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap risiko anak autis jika ibunya berusia di bawah 30 tahun.

"Ibu yang usianya sudah tua semakin besar risiko memiliki anak autis, terlepas dari ayahnya yang masih muda atau sudah tua," ujar Irva Hertz-Picciotto dari University of California Davis MIND Institute, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (9/2/2010).

Namun, hasil penemuan ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya di tahun 2006 terhadap anak-anak yang lahir di Israel. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa usia ayah justru memainkan peran lebih besar.

Hertz-Picciotto menambahkan memang telah ada perdebatan mengenai siapa yang paling memberikan kontribusi terhadap risiko autis, banyak orang berpikir risiko ini tidak mutlak ditentukan oleh ibu.

Saat ini peneliti dan pembuat kebijakan tengah giat mencari penjelasan
penyebab meningkatnya jumlah anak-anak yang didiagnosis dengan autis. Penyakit autis hingga kini belum ditemukan obatnya, anak yang mengalami autis biasanya memiliki masalah ketidakmampuan komunikasi serta keterbelakangan mental yang gejalanya relatif ringan hingga yang berat.

Masalah usia orangtua ini bisa menjadi tantangan dalam menentukan faktor risiko anak autis, karena ibu dan ayah yang sudah tua cenderung untuk memiliki anak bersama-sama. "Ini bisa terjadi karena saat orangtuanya sudah sama-sama tua, maka risiko yang diberikan oleh ayah sebanding dengan risiko dari ibu," ujar Hertz-Picciotto.

Peneliti mengungkapkan orangtua yang sudah berusia di atas 40 tahun, cenderung telah menggunakan perawatan kesuburan. Selain itu kemungkinan lain adalah para ibu cenderung memiliki kondisi autoimun termasuk gestational diabetes, telah banyaknya racun yang masuk ke tubuhnya sehingga sperma dan sel telur cenderung memiliki beberapa perubahan yang dapat meningkatkan risiko.

Faktor lain yang diduga turut memainkan peran mengembangkan anak autis adalah produk rumah tangga yang mengandung bahan berbahaya, perawatan medis, makanan yang dikonsumsi, suplemen dan adanya infeksi yang terjadi.





(ver/fah)
Tanda-tanda Anak Autis yang Patut Dicurigai
EmailCetakPDF
Nurul Ulfah - detikHealth
Jakarta, Banyak orangtua yang merasa ketakutan anaknya akan terlahir autis. Beberapa tanda autis sebenarnya bisa dideteksi mulai dari bayi lahir hingga anak berumur lima tahunan. Deteksi dini bisa mengurangi beban mental dan mempercepat penanganan maupun penyembuhan anak autis.

Autis terjadi pada 1 dari 700 orang dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Gejala autis biasanya sudah bisa terlihat sejak umur 18 bulan hingga 3 tahun. Beberapa tanda autis juga bisa diketahui sejak bayi.

Anak autis memiliki perkembangan otak yang tidak biasa dan menghasilkan sikap introvert (tertutup), tidak mau berinteraksi dengan lingkungan dan mungkin menjengkelkan bagi sebagian orangtua karena sikapnya yang seakan-akan tidak menurut.

Seperti dikutip dari Disabledworld, Selasa (16/2/2010), berikut ini beberapa gejala autis yang bisa dideteksi mulai dari bayi hingga tahun kelima pertumbuhan anak:

Baru lahir

Sejak bayi, anak autis biasanya tidak bisa merasakan atau merespons kehadiran orangtuanya. Ia tidak akan tertarik untuk melakukan kontak mata dan cenderung tertarik dengan objek yang bergerak. Bayi autis juga lebih banyak diam dan tidak menangis selama berjam-jam.

Tahun Pertama

Ada sejumlah kemampuan utama yang umumnya dicapai anak anak dalam usia setahun antara lain berdiri dengan bantuan orangtua, merangkak, mengucapkan sebuah kata sederhana, menggerakkan tangan, tepuk tangan atau gerak sederhana lainnya.

Jika anak tidak dapat melakukan kemampuan ini, tidak berarti itu gejala autisme. Ia dapat saja mencapai kemampuan itu nanti. Namun tak ada salahnya untuk waspada dan segera periksakan jika anak tak mencapai satu pun kemampuan umum diatas.

Tahun Kedua

Gejala autisme terlihat lebih jelas jika anak tidak tertarik pada ibunya atau orang lain, jarang menatap atau tidak terjadi kontak mata, tidak menunjuk atau melihat pada objek yang diinginkan, tak dapat mengucapkan dua patah kata, kehilangan kata-kata yang sebelumnya ia kuasai, mengulang-ulang gerakan seperti menggoyangkan tangan atau mengayunkan tubuh ke depan-belakang, tidak suka bermain, sering berjalan berjinjit.

Tahun Ketiga-Kelima

Gejala autisme setelah tahun kedua, semua yang terjadi pada tahun sebelumnya di atas dengan tambahan terobsesi oleh suatu objek tertentu seperti mainan atau game, sangat tertarik dengan suatu rutinitas, susunan atau keteraturan benda, sangat marah jika keteraturan atau susunan benda terganggu, sensitif terhadap suara keras yang sebenarnya tidak mengganggu anak lainnya dan sensitif terhadap sentuhan orang lain seperti tak suka dipeluk.

Jika bayi memiliki salah satu atau beberapa gejala di atas, segera periksakan ke dokter spesialis untuk meyakinkan kekhawatiran orangtua dan meringankan beban mental sedini mungkin.

Tapi jika anak didiagnosa autis, jangan lekas merasa bersalah dengan menyalahkan diri karena tidak menjaga kandungan dengan baik selama kehamilan. Perlu diingat, lahirnya anak autis bukan kesalahan ibunya. Bahkan hingga kini
penyebab autis masih belum dapat dipastikan.

Sebaliknya, usahakan tetap memberikan cinta dan kasih sayang layaknya pada anak normal. Anak autis hanyalah anak yang punya kondisi otak berbeda dengan anak lainnya. Sadari pula bahwa anak autis adalah anak spesial karena memiliki kemampuan yang berbeda dengan anak umumnya, oleh karena itu penanganannya pun harus spesial.

Lakukan konsultasi secara rutin dengan pakar dan jika perlu, masukkan anak ke sekolah khusus. Tapi jika kondisinya masih sedang dan tidak terlalu berat, cukup beritahukan pada gurunya bahwa ia butuh perhatian khusus. Yang perlu diketahui pula, penderita autis bisa disembuhkan asal rajin dan telaten mengawasi anak tersebut.

Jadi ketika suatu hari orangtua menyadari bahwa sampai usia 3 tahun anak tetap tidak memberi respons atau tidak bersikap interaktif seperti anak-anak lainnya, orangtua patut curiga 'Mungkinkah anak saya autis?'





(fah/ir)
Sekolah Umum Harus Siap Tampung Anak Berkebutuhan Khusus
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Jakarta, Jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang memasuki usia sekolah terus meningkat. Tapi sayangnya pendidikan mereka kerap terhambat oleh keterbatasan sarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah umum mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas.

Jumlah anak penderita autis dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1987, rasio anak autis adalah 1:5.000, ini berarti diantara 5.000 anak ada satu anak autis.

Angka ini meningkat tajam setelah 10 tahun (1997) yakni menjadi 1:500, kemudian menjadi 1:150 pada tahun 2000. Para ahli memperkirakan pada tahun 2010 ini penderita autis akan meningkat mencapai 60 persen dari keseluruhan populasi dunia.

Data Ditjen Dikti menyebutkan di Indonesia terdapat 811 sekolah inklusi yang diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan jumlah total 15.144 siswa. Namun jumlah ini belum dapat menampung seluruh anak dengan kebutuhan khusus yang ada di Indonesia.

Melihat fenomena ini, Dirjen Dikti Prof.Dr.H.Fasly Djalal, MBA, MSI dalam jumpa pers, Senin (1/3/2010) mengatakan akan memberikan dukungan bagi sekolah-sekolah umum agar mereka lebih siap dan terbuka untuk menerima dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pengajar juga akan dibekali wawasan mengenai pendidikan untuk 'dunia kebutuhan khusus'.

Menurut Fasly, ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu sistem guru, mengembangkan P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan), serta intensif sekolah yang mau menerima anak dengan kebutuhan khusus.

Diharapkan wacana ini akan semakin intensif dibahas dalam seminar "Indonesian Conference on Children with Special Needs-Multi Perspectives in Inclusion" yang akan diadakan pada 11-12 Maret 2010 di gedung Direktorat Pendidikan Tinggi.

Seminar yang digelar oleh Ditjen Dikti, Kementerian Pendidikan Nasional yang berkolaborasi dengan IndoCARE (Indonesia Center for Autism Resource and Expertise) itu sekaligus menyambut Hari Peduli Autism Sedunia tanggal 2 April mendatang.

Konferensi ini digelar sebagai bentuk kepedulian pemerintah dan swasta terhadap pendidikan inklusi yang memang sangat dibutuhkan oleh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Karena anak berkebutuhan khusus berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 yang menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.

Melalui konferensi ini diharapkan peranan pemerintah dalam menjangkau anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat lebih optimal. Sehingga anak-anak tersebut dapat memperolah pendidikan yang lebih layak, selain juga membekali orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Anak yang menderita autis jika kepalanya diperiksa dengan menggunakan CT Scan semuanya akan terlihat normal-normal saja.

Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat, dan sampai saat ini belum diketahui apa yang membuatnya terhambat. Sampai saat ini belum ada satu
penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis.
Diet untuk Anak Autis Kurang Bermanfaat
EmailCetakPDF
Nurul Ulfah - detikHealth
Chicago,, Selama ini anak autis sering dikaitkan dengan masalah pencernaan. Anak autis sering dibilang punya usus bocor atau disebut sindrom 'leaky gut' atau 'autistic enterocolitis'. Namun kini peneliti mengatakan bahwa hal itu tidak benar. Diet bebas gluten atau kasein pun tidak akan membantu anak autis.

Dalam laporan baru-baru ini yang dimunculkan dalam Journal Pediatrics, peneliti membantah bahwa anak autis lebih banyak mengalami masalah pencernaan dibanding anak normal. Peneliti juga menyebutkan, diet khusus seperti diet bebas gluten atau kasein tidak akan membantu anak autis.

Diet khusus pada anak autis dianggap bisa meringankan gejala anak autis. Setidaknya 1 dari 5 anak autis melakukan diet khusus seperti menghindari makanan yang mengandung gluten (protein dalam terigu) atau kasein (protein yang terdapat dalam susu).

Dokter-dokter yang menangani anak autis pun banyak yang menyarankan diet khusus tersebut. Namun dengan adanya studi ini, dokter disarankan untuk tidak lagi menganjurkan diet tersebut karena dapat mengurangi asupan nutrisi untuk anak.

Seperti dilansir Suntimes, Jumat (8/1/2010), sebanyak 28 pakar yang berasal dari 12 disiplin ilmu, mulai dari psikiater anak, pakar alergi pediatrik, gastroenterologi dan ahli nutrisi sepakat bahwa perlu studi lebih lanjut untuk membuktikan hubungan antara pencernaan yang bermasalah dengan anak autis.

Namun Jenny McCarthy, seorang aktris yang juga penulis buku 'Louder Than Words' mengaku berhasil menerapkan diet khusus untuk anaknya yang seorang autis.

Penyebab autis memang masih rancu hingga saat ini. Beberapa faktor yang berpotensi jadi penyebabnya antara lain faktor genetik, leaky gut syndrom, alergi makanan, vaksin dan paparan bahan kimia beracun.

Leaky gut syndrom adalah istilah untuk kondisi dinding usus yang berubah permeabilitasnya sehingga tidak bisa menyerap atau dimasuki molekul-molekul besar seperti protein. Jika molekul tersebut masuk ke dalam usu, maka tubuh akan mengenalnya sebagai zat asing dan akan mengeluarkan respon antigen-antibodi.

Beberapa
penyebab yang diduga memicu sindrom Leaky gut syndrom antara lain :
  1. Pertumbuhan jamur candida albicans dalam flora usus
  2. Penggunaan antibiotik berlebih
  3. Kekurangan hormon pencernaan
  4. Pemakaian obat (NSAIDS, antacids, ibuprofen)
  5. Konsumsi kafein dan gula berlebih
  6. Konsumsi berlebih makanan dari tepung terigu seperti roti, pasta atau kue-kue lainnya yang mengandung gandum
  7. Stres
  8. Fungsi liver yang rendah

Autis bisa menimpa hampir semua lapisan suku, ras dan sosioekonomi. Laki-laki dilaporkan lebih banyak mengalami autis dibanding perempuan dengan rasio yaitu 4 banding 1.

Pentingnya Pendidikan Seks Pada Anak Kebutuhan Khusus
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Selama ini terapi yang diberikan pada anak-anak kebutuhan khusus seperti autis, sindrom Asperger dan lainnya sebatas terapi bicara dan okupasi agar si anak bisa berbicara, menulis, belajar dan bersosialisasi. Padahal pendidikan seks juga harus diajarkan pada anak kebutuhan khusus sejak dini.

"Pendidikan seks tidak selalu mengenai hubungan pasangan suami istri, tapi juga mencakup hal-hal lain seperti pemberian pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak serta memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat," ujar Dra Dini Oktaufik dari yayasan ISADD (Intervention Service for Autism and Developmental Delay) Indonesia dalam acara Tanya Jawab Seputar Autisme di Financial Hall Graha Niaga, Jakarta, Sabtu (3/4/2010).

Dini menambahkan hasrat seks merupakan suatu hal yang alamiah. Masa puber yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus terkadang datang lebih awal dari anak normal, tapi bisa juga datang lebih lama atau mengalami keterlambatan. Dalam hal ini anak akan mengalami perubahan hormonal dan juga perubahan fisik berbeda pada anak laki-laki dan perempuan.

"Pendidikan seks jarang sekali disinggung bila berbicara mengenai autisme, mungkin karena dianggap masih tabu. Padahal pendidikan seks yang baik dapat membantu mempersiapkan si anak menjadi individu dewasa yang mandiri," ujar Gayatri Pamoedji, SE, MHc pendiri dari MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia).

Jika pendidikan seks tidak diberikan sejak dini, maka nantinya bisa menjadi masalah baik dari sisi eksternal atau internal si anak, seperti mungkin saja anak jadi memiliki kebiasaan memegang kemaluan sendiri, suka menyentuh bagian privat orang lain, tidak siap menghadapi menstruasi, masturbasi atau mimpi basah yang dapat mempengaruhi emosinya dan juga tidak dapat menjaga kebersihan daerah kemaluannya.

"Karena itu pendidikan seks menjadi sangat penting dan sebaiknya sudah dimulai sejak anak berusia 3 tahun. Tapi tentu saja si anak juga harus diberikan pelatihan mengenai kepatuhan, pengertian mengenai pemahaman perubahan fisik dan hormonal yang terjadi serta mencermati perilaku seks," ujar Dini yang menjadi praktisi terapi perilaku.

Dini menambahkan dalam memberikan pendidikan seks pada anak sebaiknya anak mengenali bagian tubuh dirinya sendiri dan jangan pernah mengeksplor tubuh orang lain. Selain itu, orangtua harus waspada dalam memberikan pemahaman mengenai perubahan fisik yang terjadi. Sedangkan dalam memberikan pemahaman mengenai perubahan hormonal bisa melalui cerita yang mudah dimengerti, karena hormon tidak dapat terlihat secara visual.

"Dalam hal ini orangtua harus dengan sabar mengajarkan anak apa saja yang boleh dan tidak boleh dilihat saat sedang berbicara, anak memahami mana yang termasuk sentukah OK dan mana yang tidak serta anak diajari mengenai social circle, yaitu anak diberitahu siapa saja yang boleh mendapatkan peluk dan cium," ungkapnya.

Orangtua harus memiliki kesadaran bahwa masalah seksual kini semakin eksis, sehingga orangtua jangan hanya terpaku pada mind setting masyarakat mengenai pendidkan formal saja.

Anak dengan kebutuhan khusus juga memerlukan pendidikan mengenai seks, karena tanpa disadari mereka juga akan mengalami hal yang sama dengan anak normal lainnya. Sedangkan pada anak kebutuhan khusus terkadang memiliki kadar emosional yang tidak stabil, sehingga harus diajarkan secara bertahap.

"Pendidikan seks harus dimulai sejak dini, karena jika tidak dilakukan sejak awal maka ada kemungkinan anak akan mendapatkan banyak masalah seperti memiliki kebiasaan suka memegang alat kemaluan sebelum tidur, suka memegang payudara orang lain atau masalah lainnya," tambah Dini.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memberikan pendidikan mengenai seks pada anak kebutuhan khusus yaitu, orangtua lebih berperan dibandingkan dengan terapis, memberikan pendidikan berdasarkan tingkat pemahaman anak dan dengan kata-kata positif, membuat rekayasa suasana sebelum anak diekspos keluar, memiliki peraturan tersendiri, menggunakan kekuatan reward (hadiah) dan bukan kekuatan hukuman.
Kelebihan Anak Autis yang Istimewa
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Orangtua boleh saja bersedih jika anaknya mengalami autis, tapi jangan terlalu lama. Karena anak autis ternyata punya kelebihan istimewa yang bisa membuatnya mandiri.

Anak autis memiliki kelebihan visual yang kuat. Anak autis akan lebih mudah mengerti sesuatu dari gambar ketimbang hanya omongan. Kemampuan visual yang tinggi ini akan memudahkan anak belajar bersosialiasi.

Kelebihan visualisasi inilah yang harus dimanfaatkan orangtua untuk memberikan bekal mandiri. Anak autis susah mengerti jika hanya diajarkan dengan omongan.

Jika ingin memberitahu mengupil tidak boleh sembarangan, maka orangtua harus memperlihatkan gambar orang sedang mengupil yang disampingnya ada tanda silang (dilarang). Lalu diberi lagi gambar pembanding yang dibolehkan orang sedang mengupil di kamar atau kamar mandi yang disampingnya diberi tanda contreng (benar).

Contoh lain, jika ingin mengajak anak autis ke luar rumah seperti ke mal, maka beberapa hari sebelumnya diperlihatkan gambar mal dan seperti apa di dalamnya yakni eskalator, lift, toko dan lainnya. Itu dilakukan berulang-ulang sampai anak paham.

Anak autis bukan tidak bisa diajarkan disiplin, tapi pelajaran ini bisa dimulai sejak masih kecil. Berilah batasan-batasan tegas antara yang boleh dan tidak boleh, beri pujian jika anak berhasil melakukan hal baik.

Jika anak tidak bisa mengerti melalui ucapan, cobalah divisualisasikan dalam bentuk gambar. Hal ini harus dilakukan berulang-ulang dan penuh kesabaran.

"Jika orangtua tahu cara mengajarkan anak autis, maka hal ini akan menjadi salah satu hal yang menarik," ujar Gayatri Pamoedji, seorang pendiri MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia) dalam acara media briefing Memahami Autis, di Tea Addict, Jakarta, Rabu (31/3/2010).

Dalam mengajarkan kemandirian pada anak autis harus dilakukan secara bertahap dan tidak bisa langsung drastis karena anak autis juga membutuhkan masa transisi, orangtua bisa memulainya terlebih dahulu dengan segala kegiatan di kehidupan sehari-hari.

"Kemandirian ini bisa dimulai dari kehidupan sehari-hari si anak seperti bisa mengerti perintah sederhana, melakukan segala sesuatunya sendiri hingga nanti anak tumbuh menjadi dewasa dan diharapkan nantinya mereka bisa memiliki penghasilan sendiri," ujar perempuan yang memiliki anak autis dan tinggal di Australia.

Gayatri menambahkan jangan sekali-kali orangtua memiliki pemikiran anak autis tidak bisa diajari, tapi jika metode pengajaran yang diberikan berulang-ulang, setiap hari secara teratur, terstruktur serta bertahap, maka anak autis dapat tumbuh menjadi mandiri.

Selain itu siapkan terlebih dahulu anak sebelum dibawa keluar oleh orangtua, karena jika anak sudah siap untuk keluar maka kondisi ini tidak akan menjadi bumerang bagi orangtua.

"Banyak beberapa orangtua yang mengajak anaknya ke mal, padahal secara emosional anak belum siap untuk keluar. Akibatnya anak menjadi sangat hiperaktif dan menjadi tontonan orang-orang. Hal ini tentu akan menjadi bumerang bagi orangtua itu sendiri," tambahnya.

Jika orangtua ingin mengajak anaknya keluar, cobalah untuk melakukan simulasi dulu di rumah seperti memperlihatkan gambar mal seperti apa karena anak autis sangat kuat kemampuan visualnya.

Setelah itu beritahu anak apa saja yang akan dilihatnya di mal nanti dan apa yang boleh serta tidak boleh dilakukannya. Berikan pengertian seperti itu secara berulang-ulang. Setelah anak mengerti coba dulu berada di mal selama 5 menit, lalu secara bertahap waktunya ditambah.

Perempuan yang akrab disapa Yiyek ini menuturkan orangtua dari anak autis harus memiliki kesabaran yang tinggi, mau mencari tahu segala macam informasi serta mau melakukan sesuatu. Namun ada 3 M yang tidak boleh dimiliki oleh orangtua lakukan yaitu marah, mengeluh dan mengabaikan.
Analisa Rambut untuk Menentukan Suplemen Tepat Bagi Anak Autis
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Beberapa anak autis biasanya memiliki gangguan pada pencernaan terutama bagian ususnya, sehingga ada beberapa makanan tertentu yang sebaiknya dihindari bagi anak autis. Dengan menggunakan analisa rambut maka dapat diketahui suplemen yang tepat untuk dikonsumsi.

Sekitar 88 persen anak autis memiliki kondisi usus yang rusak atau dikenal dengan istilah autistic colistic. Hal ini menunjukkan bahwa autis bukan hanya gangguan yang terjadi di kepala tapi juga gangguan di bagian pencernaan. Hasil dari ini tentu saja dapat mengganggu sistem pencernaan anak tersebut secara menyeluruh.

"Pengobatan tidak bisa berjalan dengan baik kalau kondisi pencernaan anak tersebut masih rusak. Jadi sebaiknya obati dulu pencernaannya baru dilakukan perawatan untuk mengatasi gangguan lain," ujar Dr Igor Tabrizian MD, dalam acara Tanya Jawab Seputar Autisme di Financial Hall Graha Niaga, Jakarta, Sabtu (3/4/2010).

Dr Igor mengungkapkan tes analisa rambut dilakukan untuk mengetahui seberapa baik perjalanan suatu bahan kimia dari otak ke perut seseorang. Dalam analisis ini akan diketahui berapa nutrisi dan kadar racun yang terkandung dalam mineral rambut.

Jika kadar logam berat yang terukur dalam analisis rambut jumlahnya tinggi, maka pencernaan dari anak autis ini sudah semakin membaik karena banyak zat toksik yang berhasil dikeluarkan dari dalam tubuh. Tapi jika kadarnya turun, hal ini menunjukkan kadar autismenya semakin parah dan mengartikan masih banyaknya zat toksik di dalam tubuh yang tidak mampu dikeluarkan.

"Proses industri yang semakin merajalela akan menyebabkan penyerapan racun di tubuh, hal ini dicurigai sebagai
penyebab naiknya jumlah autis di seluruh dunia. Setiap toksik yang masuk ke tubuh akan memberikan respons berbeda pada setiap orang. Ada tipe genetik yang mampu memberikan pertahanan lebih, tapi ada juga yang tidak," ujar pakar autisme, nutrisi dan suplemen dari Australia ini.

Hasil dari analisis rambut ini akan menentukan perawatan apa yang dibutuhkan oleh anak autis dan suplemen apa saja yang harus diberikan pada anak. Karena jika anak autis salah makan, maka akan timbul reaksi yang sangat hiperaktif dan sulit untuk diatur.

"Biasanya anak autis tidak bisa mengonsumsi gluten atau tepung-tepungan dan produk susu. Hal ini akan membuatnya semakin hiperaktif, tidak bisa diam dan membuatnya merasa tidak nyaman," ujar Gayatri Pamoedji, SE, MHc pendiri dari MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia).

Pada anak autis rantai asam amino yang masuk ke dalam tubuh tidak dapat dipisahkan sendiri-sendiri, sehingga akan ditemukan beberapa asam amino yang masih tergabung bersama. Gabungan dari dua asam amino ini akan menimbulkan reaksi seperti halusinasi dan anak menjadi sangat hiperaktif.

"Tapi bukan berarti anak yang sudah melakukan tes analisis rambut tidak memerlukan terapi lain, terapi yang tepat untuk anak autis ada dua hal yaitu dilihat dari kemampuan dan kebutuhan si anak. Karena itu orangtua harus melihat dengan cermat perilaku anaknya dan harus turun tangan langsung," ujar perempuan yang biasa disapa Yiyek ini.

Dengan melakukan analisis rambut ini akan diketahui berapa kadar racun yang ada di dalam tubuhnya sehingga dapat ditentukan perawatan apa yang cocok dan suplemen yang tepat untuk dikonsumsi anak. Dengan asupan nutrisi serta suplemen yang tepat akan membantu mengusir racun keluar dari dalam tubuh. Rata-rata setelah 24 bulan perawatan akan didapatkan hasil yang lebih baik.

Masalah utama dari autisme ada tiga yaitu otak, racun dan fungsi pencernaannya. Karena itu tidak ada pengobatan yang instan bagi anak autis, serta dibutuhkan kesabaran dan waktu yang panjang.
Deteksi Autis Melalui Suara Anak
EmailCetakPDF
 Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Jumlah anak autis semakin meningkat. Jika dulu autis hanya bisa dideteksi melalui tingkat laku dan juga tes urin, kini autis pada anak bisa dideteksi melalui suara.

Sebuat penelitian menemukan autisme bisa terdeteksi pada anak dengan cara menganalisa suaranya. Balita yang mengalami gangguan dalam perkembangan pengucapan kata-kata sehingga berbeda dengan anak-anak sehat lainnya, akan dianalisis dengan menggunakan sistem analisis suara otomatis yang diciptakan oleh para peneliti.

Perangkat deteksi suara ini disebut dengan LENA (Language Environment Analysis). Alat ini dapat menyeleksi adanya gangguan spektrum autis (autism spectrum disorder/ASD) yang menjadi intervensi awal yang penting.

Alat ini bekerja dengan cara merekam percakapan anak sepanjang hari dan kemudian memasukkan data tersebut ke dalam program komputer khusus. Nantinya suara ini akan dibandingkan dengan suara dari anak-anak yang memang sudah diketahui memiliki kondisi autis.

Kata-kata yang diucapkan oleh bayi dengan autisme, terutama saat mengucapkan suku kata berbeda dengan anak-anak lain yang berkembang secara normal. Alat ini bisa membedakan suara anak normal, anak yang memiliki autis dan anak yang memang memiliki keterlambatan perkembangan berbicara.

Deteksi dengan menggunakan sistem ini membutuhkan biaya sekitar 130 poundsterling atau Rp 1,8 juta (kurs pounds 13.800) dengan tingkat akurasi sebesar 86 persen. Hasil temuan ini telah dipublikasikan secara online dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.

"Teknologi ini bisa membantu para dokter anak untuk mendeteksi apakah anak tersebut memiliki autis atau tidak, sehingga dapat menentukan rujukan yang tepat ke spesialis untuk dilakukan diagnosis secara penuh. Karena jika bisa dideteksi sejak dini, maka pengobatan dan perawatan yang diberikan bisa lebih efektif," ujar Profesor Steven Warren dari Kansas University, seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (20/7/2010).

Dalam studi ini peneliti menganalisis suara dari 232 anak berusia 10 bulan hingga 4 tahun. Ditemukan indikator yang paling penting untuk mendeteksinya melalui cara anak-anak tersebut mengucapkan suku kata, yaitu dengan gerakan rahang dan juga lidah selama pengucapan.
Mengetik Bantu Anak Autis Berkomunikasi
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
London, Anak autis biasanya akan sulit mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan merangsang inderanya, memungkinkan anak autis untuk dapat berkomunikasi, salah satunya dengan mengajarinya mengetik.

Ponsonby Jamie adalah anak autis asal London yang tidak dapat berbicara dan selama bertahun-tahun ia terjebak dalam dunianya sendiri. Keluarga kemudian mengajarkannya mengetik.

Kini bocah berusia 13 tahun ini tak hanya bisa mengekspresikan diri, tetapi juga mampu menulis puisi.

"Cara ini akhirnya dapat membuat kami berkomunikasi dengan Jamie dan memahaminya dengan lebih baik," ujar Serena, ibundan Jamie, seperti dilansir dari BBC, Rabu (23/6/2010).

Serena mengungkapkan dengan terapi ini ia mengetahui bahwa putranya sangat tertarik dengan bola dan memiliki selera humor. Jamie juga mampu membuat puisi yang indah, perasaan dan emosinya terkesan normal bahkan di atas rata-rata anak seusianya.

Metode yang disebut facilitated intervention pertama kali diperkenalkan di Australia pada 1970-an, yang mana seseorang mendukung tangan klien, pergelangan tangan atau lengan, sementara orang lain membantu menggunakan komunikator untuk menggambarkan kata-kata, frase, atau kalimat.

Richard Mills, direktur riset Autism Research, mengatakan bahwa kasus-kasus seperti Jamie relatif tidak biasa. Mills juga mengungkapkan bahwa terapi ini sangat kontroversial saat ditinjau secara independen. Tapi dia mengatakan, mengetik secara independen tidak bekerja pada beberapa anak autis.

"Kita tahu bahwa penyandang autism sering membutuhkan waktu proses yang lebih lama. Mereka perlu hal-hal dalam bentuk visual, jadi mengetik dengan menggunakan keyboard cenderung lebih baik," jelas Mills.

Serena yang menyadari bahwa anaknya menyandang autis sejak usia 18 bulan mengatakan bahwa meskipun Jamie mengetik dengan lambat, sekitar 2 minggu untuk mengetik puisi, tapi itu merupakan perkembangan yang cepat baginya.

"Kami mengajarinya mengetik pada usia 9 tahun setelah saya membaca sebuah buku. Setelah beberapa tahun ia mulai membaca tanda-tanda dan kami melihat bahwa Jamie bisa membaca. Kami juga mulai mengajukan pertanyaan dan ia akan mengetik segala hal yang ia tahu," jelas Serena.
Mampukah Anak Autis Belajar di Sekolah Umum?
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Jakarta, Desakan agar anak autis dibolehkan menempuh pendidikan di sekolah umum terus muncul. Bagaimana peluang anak autis bisa belajar di sekolah umum?

Psikolog Tri Gunadi, OT, S.Psi, S.Ked dari Yayasan Medical Exercise Therapy mengakui memang tidak semua anak autis mampu sekolah di
sekolah umum. Karena kalau dipaksakan pun dengan alasan agar tidak ada diskriminasi justru si anak autis yang akan kesulitan mengikutinya.

Menurutnya, ada beberapa syarat jika orangtua anak autis ingin menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Komunikasi klasikal (verbal atau non verbal)
  2. Gangguan perilaku sudah hilang, seperti temper tantrum (suka marah dan mengamuk), berteriak-teriak dan lainnya.
  3. Gangguan emosi sudah tidak ada lagi
  4. Tidak mendistraksi atau terdistraksi anak yang lain, dengan kata lain si anak sudah bisa berkontrasi
  5. Memiliki kemampuan akademis

Nah, jika anak autis belum bisa memenuhi syarat-syarat tersebut sekolah inklusi atau kebutuhan khusus menjadi jalan keluarnya.

"Sekolah inklusi memang menjadi jalan terbaik untuk anak autis yang kondisinya belum stabil," ujar Tri dalam acara Autism & Friends: Talent & Artwork Showcase di Senayan City yang diadakan London School of Public Relation, Jakarta, Jumat (30/7/2010).

Sekolah inklusi merupakan sekolah dengan sistem, guru, kurikulum adaptasi dan fasilitas sekolah yang memadai dan disesuaikan bagi anak autis.

Sekolah inklusi hanya mewajibkan 3 syarat teratas (komunikasi klasikal, perilaku dan emosi) dari 5 syarat untuk sekolah umum.

Namun bukan berarti anak autis tidak bisa bersekolah di sekolah umum. Dengan rajin melakukan terapi terlebih dahulu biasanya anak autis bisa menguasai 5 syarat di atas.

Selain syarat untuk sekolah, terapi juga wajib bagi anak autis karena bila tidak di terapi yang tumbuh hanya fisiknya, tapi perkembangan tidak terjadi (komunikasi, bahasa, emosi, perilaku, sensorik dan lainnya).

Anak autism idealnya mempunyai 3 terapis yang berbeda (termasuk orangtua) untuk sarana generalisasi agar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

Terapi ini harus dipantau oleh ahlinya, dilaksanakan secara simultan dan kontinu baik di tempat terapi, rumah dan lingkungan sehari-hari.

Merkuri dalam Vaksin Tidak Menyebabkan Autis
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
New York, Beberapa vaksin untuk anak-anak diketahui mengandung thimerosal yang diduga dapat menyebabkan autis. Tapi studi terbaru menunjukkan bahwa thimerosal tidak terbukti meningkatkan risiko autis.

Thimerosal adalah salah satu bahan pengawet yang berbasis merkuri dan sampai saat ini masih banyak ditemukan dalam vaksin. Dan studi ini menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar thimerosal melalui vaksin atau ibunya menerima vaksin saat hamil tidak mengembangkan autisme.

"Penelitian ini seharusnya dapat meyakinkan orangtua untuk tetap mengikuti jadwal imunisasi yang sudah direkomendasikan," ujar Dr Frank Destefano, direktur Immunization Safety Office, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (14/9/2010).

Keprihatinan mengenai kaitan antara vaksin dan autisme pertama kali muncul lebih dari satu dekade lalu oleh seorang dokter di Inggris, yaitu Andrew Wakefield. Namun hasil penelitiannya hingga kini masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan di seluruh dunia.

Hingga kini belum ada bukti ilmiah yang bisa menunjukkan hal tersebut, dan hasil ini justru akan menakut-nakuti para orangtua dan membuatnya menghidari vaksin yang seharusnya dianjurkan untuk anaknya.

Sebagian besar ilmuwan menganggap gangguan perkembangan autisme kemungkinan dipengaruhi oleh faktor gen. Gangguan spektrum autisme berkisar dari sindrom Asperger ringan hingga keterbelakangan mental parah.

Dan ketika seorang anak terpapar thimerosal sebelum kelahiran atau setelah anak tersebut lahir, tidak ada peningkatan risiko dari setiap jenis gangguan spektrum autisme.

Dr Michael J Smith, seorang dokter anak dari University of Louisville School of Medicine di Kentucky menuturkan angka autisme akan terus mengalami kenaikan meskipun thimerosal telah dihapus dari beberapa vaksin untuk anak-anak.

"Ini merupakan studi yang sangat menyakinkan, data ini menunjukkan bahwa Anda bisa menerima vaksin thimerosal dan tidak peduli dengan hal tersebut. Karena tidak ada bukti yang dapat dipercaya mengenai hubungan antara vaksin dan autisme," ujar Dr Michael J Smith.

Kaspar, Robot Teman Anak Autis
EmailCetakPDF
Febrina Ayu Scottiati - detikinet
Jakarta - Mengajak anak autis bermain atau belajar bisa menjadi hal yang menyenangkan
bersama robot Kaspar asal Jepang. Kaspar, alias Kinesis and Synchronisation in Personal Assistant Robots adalah sebuah robot humanoid dalam wujud anak kecil yang digunakan di Jepang untuk membantu anak-anak autis.

Kaspar yang dikembangkan di Universitas Hertfordshire, Inggris ini memiliki
wajah dengan ekspresi minimal agar tidak terlalu mengagetkan para murid
autisnya. Namun ia akan membalas ekspresi anak-anak seperti senang, kaget maupun wajah biasa saja.

Seperti dikutip detikINET dari Cnet, Jumat (27/8/2010), Penggarapan Kaspar menghabiskan dana sebesar USD 2.500 atau sekitar Rp 22,4 juta. Menurut tim pencipta robot, biaya ini sudah ditekan seminimal mungkin agar kedepannya mudah dilakukan penelitan lanjutan.

Kaspar memiliki sedikit motor sehingga hanya mampu mensimulasikan gerakan sederhana ketika sedang berkomunikasi. Ia hanya bisa menggerakkan bagian kepala, leher, lengan dan tangan, mengedip sekaligus merekam video dan mulutnya pun bisa terbuka kemudian tersenyum.

Pada bagian luar tubuh Kaspar dibungkus manekin anak yang ditambah silikon kulit robot yang berfungsi membalut sensor sehingga robot bisa membedakan anak setiap kali disentuh.

Kaspar yang merupakan bagian dari proyek penelitian terapi robot untuk anak autis ini biasanya duduk di meja dengan kaki bersila sama seperti ketika anak-anak lain sedang duduk. Kaspar bahkan mampu menggerakan tangan dan wajah untuk bermain 'Ciluk Ba'.

Anak-anak autis sengaja dirangsang untuk menyentuh Kaspar agar bisa meningkatkan kesadaran diri serta mengurangi isolasi pada anak yang mengalami autis berat. ( feb / rns )
Guru Harus Bisa Mengenali Anak Autis di Sekolah
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Jakarta, Tak sedikit anak autis yang baru terdeteksi harus membutuhkan 'perhatian' khusus setelah memasuki usia sekolah. Ini juga menjadi tanggungjawab guru agar bisa mengenali dan membantu anak autis di sekolah.

Autisme biasanya terdeteksi sebelum usia 3 tahun. Namun, ada juga gejala sejak usia bayi dengan keterlambatan interaksi sosial dan bahasa (progresi) atau pernah mencapai normal tapi sebelum usia 3 tahun perkembangannya berhenti dan mundur, serta muncul ciri-ciri autisma.

Tak hanya orangtua, guru di sekolah mulai dari kelompok bermain (playgroup), Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar juga harus mengenali secara dini bila ada anak didiknya yang menunjukkan gejala-gejala autisma.

"Sayangnya, masih banyak guru yang belum mengenali gejala autis pada anak di sekolah," tutur Tri Gunadi, OT, S.Psi, S.Ked dari Yayasan Medical Exercise Therapy dalam acara Autism & Friends: Talent & Artwork Showcase di Senayan City, Jakarta, Jumat (30/7/2010).

Dalam acara peduli autis yang diadakan oleh London School of Public Relation ini, Gunadi menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengenali gejala autis oleh orangtua dan guru, yaitu:

1. Gangguan kualitatif interaksi sosial
Gangguan ini berupa gangguan atau kesulitan berinteraksi dengan orang-orang sekitar, baik orangtua, guru maupun teman.

2. Gangguan kualitatif komunikasi dan bahasa
Anak autis akan mengalami kesulitan menangkap kata, non verbal, serta jika verbal mengalami echolalia (hanya meniru berulang-ulang), isi pembicaraan aneh, tidak berkomunikasi dua arah, isi tidak relevan, tidak mengerti kata ganti orang, dll.

3. Terjadi gangguan mindblidness
Yaitu tidak mampu mengenali status mental diri dan orang lain dan kurang bisa membaca pikiran orang lain.

4. Pola perilaku dan minat yang terbatas itu itu saja
Anak autis biasanya mengalami gangguan perilaku deficit (suka menyendiri, kurang motivasi, pasif dan lainnya) atau gangguan perilaku berlebihan (tantrum atau suka mengamuk, agresif, berlari-larian, dll).

5. Gangguan emosi
Anak autis kesulitan dalam mengidentifikasi emosi, kuantifikasi emosi, mengekspresikan emosi (datar, temper tantrum, gembira, frustasi, cemas, panik, dll), cenderung lebih banyak menunjukkan emosi negatif dan campuran bentuk emosi yang aneh.

Selain itu, anak autis juga sering tidak membagi emosi dengan orang lain, kurang tertarik dengan ekspresi wajah orang lain dan akhirnya tidak mau menatap mata orang lain.

6. Gangguan perkembangan kognitif
Walaupun rata-rata anak autis mempunyai memori yang luar biasa, tapi cenderung tidak fungsional, problem solving (penyelesaian masalah) yang buruk terutama tidak mampu membaca informasi kontekstual, serta fungsi eksekutif yang rendah (perencanaan, pengaturan, kontrol diri dan fleksibilitas kognitif).

Selain mengalami gangguan-gangguan di atas, anak autis juga memiliki respons sensorik yang tidak terintegrasi.

Ada enam kondisi sensori, yaitu keseimbangan, raba, rasa sendi, penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman.

Nah, anak autis biasanya akan mengalami kondisi sensori yang kurang dan cenderung seeker (mencari stimulus sensori) ataukondisi sensori yang berlebih dan cenderung avoider (menghindar terhadap stimulus sensori).

Anak dengan kondisi seeker akan selalu mencari rangsangan secara berlebihan, misalnya sangat suka permainan keseimbangan, suka disentuh dan menyentuh, suka menghentak-hentakkan kaki, berlari-larian, suka melihat benda-benda berputar, mendengar suara-suara tertentu, dan lainnya.

Tapi anak yang cenderung avoider akan berkebalikan dengan kondisi seeker. Anak-anak tersebut akan sangat takut dengan segala hal yang memerlukan keseimbangan, tak suka disentuh dan menyentuh (bahkan tidak mau berpakaian), sangat pendiem, akan berteriak bila mendengar suara-suara tertentu, dan sebagainya.

Gejala-gejala autisme pada anak tersebut sebaiknya dapat diketahui sejak dini, baik oleh orangtua maupun guru di sekolah. Karena semakin cepat terdeteksi, maka akan semakin cepat dilakukan intervensi atau tindakan yang dapat mengurangi gejala autisme.
Jarang Menguap Bisa Jadi Pertanda Anak Autis
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Randolph, Tanpa disadari, seringkali saat melihat orang lain menguap akan ikut-ikutan menguap, karena menguap memang dapat menular. Bagi anak yang jarang menanggapi respons menguap orang lain, bisa jadi anak tersebut mengalami autisme.

Menguap adalah tindakan refleks yang terjadi pada semua orang, biasanya dilakukan untuk menghirup udara dalam jumlah banyak dan diikuti dengan pernapasan.

Menguap itu menular karena dipicu oleh mekanisme empatik yang berfungsi untuk menjaga kewaspadaan kelompok. Karenanya, menguap adalah tanda empati.

Selain itu,
penyebab lain menularnya menguap karena aktifnya sistem saraf cermin (mirror neurons system), yaitu neuron yang terletak di bagian depan setiap belahan otak vertebrata tertentu.

Namun, sebuah studi yang telah dipublikasikan dalam edisi terbaru jurnal Child Development menemukan bahwa anak dengan autisme ringan akan lebih sering menanggapi respons menguap ketimbang anak dengan autisme parah.

Artinya, menguap bisa menjadi suatu pertanda anak tidak menanggapi respons sosial yang terjadi di sekitarnya. Menurut peneliti, respons terhadap menguap yang menular terjadi secara signifikan dimulai pada usia 4 tahun.

Para pakar mengatakan hasil ini menambahkan pemahaman tentang autisme. Meski temuan ini belum bisa diaplikasilan secara praktis, tapi para pakar percaya bahwa ketidakmampuan menanggapi sesuatu yang sederhana seperti menguap, bisa menjadi pertanda adanya gangguan autis pada anak.

"Bila kesadaran sosial berkurang atau semakin parah, maka dapat mempengaruhi suatu respons neurologis menular seperti menguap," tutur Susan Wilczynski, direktur eksekutif National Autism Center di Randolph, Massachusetts, seperti dilansir dari ABC News, Senin (20/9/2010).

Peneliti utama Molly Helt, seorang calon doktor di University of Connecticut, memutuskan untuk fokus pada penularan menguap setelah menemukan bahwa anak-anak dengan autisme tidak menanggapi ketika ia mencoba untuk membuatnya menguap.

Ahli autisme lain juga setuju dan menambahkan bahwa pemahaman respons terhadap isyarat-isyarat tertentu, seperti menguap, penting untuk memahami aspek kunci di balik autisme.

Tatapan Bayi Jadi Indikator Awal Autisme
EmailCetakPDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Delaware, Tanda-tanda autisme pada anak sudah bisa diamati sejak dini atau usia bayi. Tatapan bayi bisa menjadi indikator awal untuk autisme.

Peneliti di Kennedy Krieger bekerjasama dengan rekan-rekan di University of Delaware, berusaha membuat penelitian yang menyelidiki tentang tatapan bayi.

Dalam penelitian tersebut, peneliti membuat suatu pembelajaran sosial multi-stumulus, menempatkan bayi di kursi rancangan khusus dengan joystick (mainan gantung) yang terpasang dan mudah dijangkau, dan menaruh mainan musik terletak di sebelah kanan dan pengasuhnya (misalnya ibu) di sebelah kiri.

Peneliti mengevaluasi seberapa cepat bayi belajar dengan joystick untuk mengaktifkan mainan musik dan bagaimana tingkat keterlibatan sosial bayi dengan pengasuhnya.

Tim peneliti menemukan bahwa bayi yang berisiko tinggi autisme akan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mencari dan terlibat dengan pengasuhnya. Bayi akan lebih fokus pada rangsangan non-sosial (mainan musik atau joystick).

Hal ini menunjukkan adanya gangguan dalam pertumbuhan yang terkait dengan perhatian si bayi. Dalam perkembangannya, kondisi ini akan berkembang menjadi autisme. Dan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi, akan terlihat tanda-tanda autisme lainnya.

"Studi ini menunjukkan bahwa kelemahan tertentu pada anak, khususnya autisme, sudah bisa dideteksi sejak anak berusia enam bulan (saat interaksi harusnya sudah terjadi)," ujar Dr Rebecca Landa, pemimpin studi, seperti dilansir dari TopNews, Jumat (3/9/2010).

Menurut Dr Landa, bayi autisme biasanya tidak berinteraksi sosial atau bergerak sendiri. Tetapi bayi autisme ini terkadang masih bisa merespons bila ibu atau pengasuhnya memberikan rangsangan, sehingga perbedaan halus ini dapat dengan mudah diabaikan oleh beberapa orangtua.

Namun, penelitian ini tidak menunjukkan bukti adanya gangguan belajar pada bayi berisiko tinggi autisme. "Baik bayi autisme ataupun tidak, keduanya mempelajari tugas multi-stimulus dengan tingkat yang sama," tambah Dr Landa.

Temuan ini menunjukkan bahwa seperti halnya anak autis yang lebih tua, bayi yang berisiko tinggi autisme masih dapat mengambil manfaat dari kuantitas pembelajaran atau rangsangan yang diberikan, sehingga menyebabkan efek sederhana dan memberi kesempatan untuk membantu perkembangannya.

Bila sejak dini sudah diketahui bahwa bayi berisiko tinggi autisme, orangtua sebaiknya sering memberi rangsangan, baik secara sosial (interaksi dengan orangtua) atau non-sosial (menggunakan mainan). Hal ini bisa mengurangi risiko bayi mengembangkan autisme.

Untuk menindaklanjuti studi, temuan ini akan segera diterbitkan pada Center for Autism and Related Disorders di Kennedy Krieger Institute.
LENA, Piranti Deteksi Dini Autisme
EmailCetakPDF
JAKARTA--Gejala autisme mulai tampak pada anak sebelum berusia 3 tahun. Namun,  gejala umum yang paling jelas terlihat antara umur 2 - 5 tahun. Namun, pada kasus tertentu, gejala autisma baru terlihat saat si kecil memasuki jenjang sekolah.

Sejumlah riset deteksi dini autisma baru bisa dilakukan pada bayi berumur 18 bulan ke atas. Sehingga orang tua kerap terlambat menyadari bahwa anak-anak mereka menyandang autisma.

Kini, kecenderungan terlambat menyadari bisa dikurangi. Lembaga non profit di AS, Lena Foundation menemukan metode baru untuk mendeteksi gejala dini tiga tahun lebih cepat.

Metode ini bernama LENA Autism Screening Service, sebuah sistem yang merekam keseharian anak dengan menggunakan alat perekam khusus. Alat ini bukan alat biasa, karena mampu menangkap tanda-tanda dari prilaku anak tiga tahun lebih awal. Artinya, bayi berusia setahun mampu dianalis LENA untuk mengetahui apakah prilaku si kecil menunjukan gejala autisma.

Frank J. Sulloway,  doktor dari Institute of Personality and Social Research, University of California, Berkeley menilai LENA merupakan metode radikal yang begitu potensial mengubah gaya pengasuhan dan pendidikan anak sekaligus pula sebagai pionir pengembangan teknologi yang begitu bernilai.

Sementara itu, John H.L Hanses dari Erik Jonsson School of Engineering and Computer Science berpendapat," Keberadaan LENA seperti pisau Swiss Army yang membantu peneliti atau ahli bahasa untuk menangani anak atau bayi."

Kehadiran LENA tentu berdampak strategis. Keterlambatan penanganan dapat dicegah sehingga orang tua dapat fokus memberikan anak-anak pelatihan berbicara dan berbahasa dengan tepat dan cepat. Apalagi akurasi alat ini diklaim mencapai 90%.

Cara menggunakannya pun cukup mudah. Orang tua cukup mengikuti tiga langkah sederhana untuk bayi mereka yang berusia 2-3 bulan.

Pagi hari, selipkan Prosesor Bahasa Digital LENA (DLP) ke dalam saku yang didesain khusus untuk baju LENA. Di akhir hari, colokkan DLP ke komputer anda.
Data audio akan menransfer dan software di komputer anda segera menganalisa. Perhatikan laporan tersebut untuk menganalisa percakapan yang dilakukan si kecil sekaligus untuk mengidentifikasi pola bicara di sepanjang hari. Dari laporan tersebut anda juga memperoleh informasi dalam prosentase.

LENA sudah beredar di AS dengan banderol harga  130 Pounds, atau setara dengan 1. 8 juta rupiah. Selain di AS, LENA bakal diperkenalkan kepada publik Inggris dalam waktu dekat.
Terapi-Edukasi, Obat Mujarab untuk Anak Penyandang Autis
EmailCetakPDF
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam perkembangannya, terapi autisme kian maju dan inovatif. Sebut saja terapi akustik, dolphin Theraphy atau terapi  lain. Namun, yang terpenting, perhatian dan bantuan untuk mengarahkan anak autistik menjadi obat paling mujarab hingga saat ini.

Dokter spesialis anak, Hardiono D Pusponegoro berpendapat tidak semua anak yang telah menjalani terapi dapat langsung terjun ke kehidupan normal. "Ada juga anak autis yang setelah terapi dapat langsung di sekolah negeri. Tetapi, ada juga yang membutuhkan sekolah berkebutuhan khusus, sekolah peralihan, dan sekolah inklusi," ujarnya saat berbicara dalam sebuah acara di Jakarta, Selasa (15/6).

Namun, dia menuturkan, gabungan antara terapi dan edukasi yang tepat membuat anak berkebutuhan khusus mampu tumbuh dan belajar sesuai dengan kemampuan dan keadaan mereka.  "Makin lama saya bekerja dengan pasien autisma, makin yakin bahwa sebagian besar pasien tidak memerlukan obat melainkan terapi dan edukasi yang tepat," imbuhnya.

Ia menyayangkan posisi sekolah berkebutuhan khusus tak lebih sebagai rumah penitipan anak bukan mengutamakan pendidikan yang tepat bagi anak-anak autisma. Sistem pendidikan khusus seharusnya dibentuk bagi anak berkebutuhan khusus yang lengkap dengan terapi, medis, dan edukasi memberikan perubahan terhadap perkembangan mereka.
"Masalahnya, di Indonesia sendiri, sekolah insklusi untuk gangguan prilaku seperti halnya autisma masih sulit untuk ditemukan,l kata dia.

Sementara itu, pakar Pendidikan asal Singapura, Prof. Eric Lim berpendapat intervensi sejak dini terhadap anak berkebutuhan khusus mutlak diperlukan.  Intervensi tersebut diberikan dalam bentuk terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun kognisi, latihan, bahasa, sentuhan, dan pijat hingga terapi musik dan instrumen sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.

"Program pendidikan benar-benar mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kehidupan normalnya. Disamping itu, pendidikan juga memiliki evaluasi dalam waktu tertentu untuk melihat kemajuan anak," kata dia.

Sekolah Khusus


Minimnya pendidikan  yang mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus mengilhami Klinik 'Anakku dan lembaga pendidikan khusus 'kits4kids' mengembangkan terapi-edukasi bagi anak-anak berkebutuhan spesial itu.
Di sekolah yang diberinama 'Anakku Kits4kits", anak diberikan terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun komunikasi, kognisi, latihan, bahasa, sentuhan dan pijat sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.

Adapaun program yang ditawarkan antara lain, 'Early Intervention program for Infant and Childreen (EIPIC)', sebuah program khusus anak berusia 2-6 tahun dan program junior, untuk anak usia 7-12 tahun serta program care, untuk anak usia 10-18 tahun.

Rencananya, sekolah segera dibuka awal Juli 2010 di Cibubur, Depok dan Pulo Mas, Jakarta Timur yang mampu menampung 40 dan 100 anak berkebutuhan khusus.
Kenali Gejala Autis Sejak Anak Usia 12 Bulan
EmailCetakPDF
Deteksi beberapa gejala gangguan pada bayi di tahun-tahun awal kehidupan mereka.
Petti Lubis, Anda Nurlaila
VIVAnews - Gangguan perilaku interaksi dan komunikasi atau autisme masih menjadi tanda tanya dalam dunia medis. Meski penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada cara untuk mengenali gejala autisme pada anak secara dini. Deteksi dan terapi autisme lebih cepat memberi hasil terbaik bagi perkembangan anak autis.

Neurolog Anak Dr Hardiono D Pusponegoro menyatakan spektrum autisme umumnya terdiri dari beberapa jenis, di antaranya gangguan autistik, sindroma Asperger, Pervasive Development Disorder (PDD NOS), sindroma Rett dan Childhood Disintegrative Disorder.  

Peran orangtua sangat penting dalam upaya deteksi awal gejala autisme pada anak. Orangtua harus mewaspadai apabila dalam masa awal pertumbuhan bayi mulai menunjukkan gejala autisme.

Terdapat beberapa gejala gangguan pada bayi di tahun-tahun awal kehidupan mereka. Tidak adanya 'babbling', atau tidak dapat menunjuk dengan jari atau mimik yang kurang pada usia 12 bulan. Juga tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan.
Di usia yang lebih tinggi 24 bulan misalnya, balita belum mampu mengucapkan dua kata yang bisa dimengerti. Atau, bisa juga anak kehilangan kemampuan bicara atau kemampuan sosial di berbagai usia.

"Gejala-gejala ini adalah tanda bahaya (red flags) yang memberi informasi pada orang tua bahwa anak kemungkinan mengidap autisme," ungkapnya pada konferensi pers Autism Now di FX Lifestyle Jakarta, Senin, 14 Juni 2010. 

Untuk memastikan, skrining tanpa instrumen dinilai mampu mendeteksi lebih jauh gejala autisme anak. Bila diagnosis membuktikan anak mengalami gejala autisme seperti gangguan perilaku, interaksi, dan komunikasi perlu segera dilakukan terapi.

Intervensi sejak dini, menurut Dr. Hardiono berpengaruh signifikan terhadap perbaikan perilaku. Terapi dan edukasi yang tepat akan memperbaiki anak dengan autisme. "Dari pengalaman saya, pasien autisme  sebagian besar tidak memerlukan obat. Yang diperlukan adalah terapi dan edukasi yang baik," katanya menambahkan.

Terapi medis diberlakukan apabila anak berperilaku maladaptif seperti agresif, repetitif, menyakiti diri sendiri, mengalami gangguan tidur atau hiperaktif atau memiliki penyakit penyerta lainnya.

Jika anak positif terdeteksi mengidap autis, Dr. Hardiono menjelaskan terapi perlu untuk membantu sesuai kebutuhan anak. "Terapi integrasi, floor time, terapi perilaku serta melibatkan orangtua serta edukasi yang tepat membantu anak mengatasi keadaan dalam dirinya sesuai usia." (umi)
Bisakah Anak Autis Bersekolah Normal
EmailCetakPDF
Sekitar 40 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki gangguan perkembangan.
 Petti Lubis, Anda Nurlaila
VIVAnews - Gangguan perkembangan adalah salah satu penghambat pertumbuhan anak-anak secara fisik, perilaku maupun sosial. Sebesar 30 persen anak atau sekitar 40 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki gangguan perkembangan serta memiliki kebutuhan khusus.

Masalah gangguan perkembangan anak, seperti down syndrome, hiperaktif, dan autisme, belum diketahui penyebab pastinya. Untuk Autisme saja, angka normal penderita mencapai 6/1000 anak. Beberapa penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan angka autisme di beberapa daerah tertentu bahkan lebih tinggi, hingga 2/100 anak.

"Di Indonesia, diperkirakan jumlah penderita autisme mencapai dua juta anak," kata Neurolog Anak Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K) di Jakarta, Senin 14 Juni 2010. 

Yang menjadi permasalahan, menurut Dr Hardiono, tidak semua anak yang telah menjalani terapi dapat langsung terjun ke kehidupan normal. "Ada anak autis yang setelah terapi dapat langsung sekolah di sekolah negeri. Tetapi, ada juga yang membutuhkan sekolah berkebutuhan khusus, sekolah peralihan dan sekolah inklusi," katanya.

Gabungan antara terapi dan edukasi yang tepat membuat anak berkebutuhan khusus mampu tumbuh dan belajar sesuai kemampuan dan keadaan mereka. "Sistem pendidikan khusus dibentuk bagi anak berkebutuhan khusus lengkap dengan terapi, medis dan edukasi memberi perubahan besar terhadap perkembangan mereka," katanya.
Masalahnya, di Indonesia sendiri, sekolah inklusif untuk gangguan perilaku seperti halnya autisme masih sulit ditemukan.

Prof Eric Lim, Pakar pendidikan khusus anak mengungkapkan, intervensi sejak dini bagi anak berkebutuhan khusus memperbaiki perkembangan anak 'spesial' seperti pengidap autisme, hiperaktif dan down syndrome. 

Memenuhi kebutuhan tersebut, Klinik 'Anakku' dan lembaga pendidikan khusus 'Kits4kids' mengembangkan sebuah terapi-edukasi bagi anak dengan gangguan perilaku.  Di 'Anakku Kits4Kids', anak diberi terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun komunikasi, kognisi, latihan, bahasa, sentuhan dan pijat, hingga terapi musik dan instrumen sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.

"Program pendidikan kebutuhan khusus melibatkan afeksi, perilaku dan kognisi anak. Hasilnya akan dievaluasi dalam waktu tertentu untuk melihat kemajuan anak," ungkap Lim.    

Untuk anak usia 2-6 tahun terdapat program 'Early Intervention Program for Infant and Children (EIPIC)', program 'Junior' untuk anak usia 7-12 tahun serta program 'Care' untuk anak usia 10-18 tahun.

"Mereka diterapi sesuai kebutuhan dan sebelumnya dikonsultasikan dengan medis dan psikolog. Jika telah mampu bersosialisasi di masyarakat umum, akan segera dilepas. Namun, sekolah khusus ini mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kehidupan normalnya."

Rencananya sekolah yang segera dibuka awal Juli 2010 di Cibubur, Depok dan Pulomas, Jakarta Timur tersebut masing-masing mampu menampung 40 dan 100 anak berkebutuhan khusus. "Paduan terapi-edukasi rencananya akan segera kami sebarkan di kota-kota lain di Indonesia," kata Dr. Hardiono. (umi)
Bayi Lahir Prematur Rentan Autisme
EmailCetakPDF
Bayi-bayi yang lahir di minggu ke 37 hingga minggu 39 memiliki risiko tinggi.
Petti Lubis, Anda Nurlaila
VIVAnews - Walaupun penyebab pasti autisme belum dapat diketahui, sebuah penelitian terbaru menemukan bayi yang lahir lebih cepat satu minggu memiliki risiko mengidap masalah autisme dan gangguan pendengaran.

Bayi lahir pada minggu ke-39 -titik di mana sebagian besar bedah caesar dilakukan- mengalami kesulitan belajar daripada bayi yang lahir pada minggu ke-40.

Seperti yang dikutip dari Telegraph, peneliti menganalisis sejarah kelahiran 400 ribu anak sekolah yang lahir pada minggu ke-37 hingga 39. Mereka yang lahir pada rentang waktu ini berisiko 5,1 persen mengalami kesulitan belajar dan membutuhkan pendidikan khusus. Sementara mereka yang lahir pada minggu ke-40 memiliki tingkat risiko lebih rendah, empat persen.

Jill Pell, profesor kesehatan masyarakat dan kebijakan kesehatan Universitas Glasgow, mengemukakan para dokter dan calon orangtua harus mempertimbangkan risiko kesulitan belajar saat merencanakan operasi caesar.

"Bedah caesar saat ini sering dilakukan lebih cepat seminggu dari waktu lahir. Maka itu, jika membuat keputusan tersebut, pertimbangkan risiko dan manfaat potensialnya," katanya.

Adapun bahaya pada bayi yang lahir dalam 24 minggu pertama memiliki risiko kesehatan autisme dan gangguan perilaku yang sangat tinggi. Dari studi yang sama ditemukan sepertiga bayi lahir pada minggu ke-37 hingga minggu ke-39.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, jumlah orangtua yang memilih operasi caesar meningkat secara signifikan.  Dari 400 ribu anak yang diteliti, 18 ribu tergolong memiliki kebutuhan khusus termasuk gangguan perilaku hiperaktif, autis disleksia, tuli serta memiliki penalaran rendah.

Studi ini diterbitkan dalam jurnal Public Library of Science Medicine. (umi)
Deteksi Autisme dalam Sekejap
EmailCetakPDF
Dengan metode terbaru, deteksi gejala autisme bisa dilakukan dalam waktu lima menit.
Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila
VIVAnews - Tes untuk mengetahui gejala autisme pada anak yang ada saat ini rata-rata memakan waktu hingga dua jam. Untuk itu, tim peneliti dari Universitas Emory dan Georgia Tech mencoba menawarkan cara baru yang lebih cepat.

Dengan metode 'Rapid Attention Back and Forth Communication Test' atau "Rapid ABC", uji gejala autisme anak hanya berlangsung selama lima menit. Caranya, anak dilibatkan dalam kegiatan yang sederhana yang memerlukan konsentrasi, komunikasi, dan pengenalan.

Tes sangat efektif untuk mengetahui gejala awal autisme pada anak usia 18 bulan hingga dua tahun. Meski begitu, tes ini tidak dapat menggantikan screening autisme secara komprehensif. Setelah  mengidentifikasi cepat anak yang berisiko autisme di awal perkembangan, mereka harus segera mendapat terapi.

Dokter anak, Alana Levine, mengatakan, "Gejala gangguan spektrum autisme mencakup gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi, tetapi juga dicirikan oleh perilaku yang tidak biasa seperti gerakan berulang, mengepakkan tangan dan kurangnya kontak mata. Sebelumnya diagnosis dan intervensi terkait dengan hasil jangka panjang lebih baik, " katanya seperti dikutip dari Momlogic.

Levine juga mencatat bahwa jika orangtua curiga anak mereka mungkin terkena autisme, tes Rapid ABC hanyalah tes cepat. Kemudian harus dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk evaluasi emosional dan fisik secara menyeluru
Siapa Bilang "Autis" Tak Bisa Disembuhkan
EmailCetakPDF
Terutama jika anak yang mengalami autisme sudah diterapi sejak usia kurang dari 3 tahun.
Amril Amarullah
SURABAYA POST -- Punya anak autis kerap menjadi beban pikiran orangtua. Mereka khawatir anaknya tidak bisa hidup normal, padahal autisme bisa disembuhkan.

Hingga saat ini belum ditemukan penyebab autisme yang kebanyakan diderita anak sejak lahir. Gejala autisme seringkali sudah terlihat saat anak belum berusia 2 tahun. Tapi pada beberapa kasus, ada yang baru terdiagnosis ketika memasuki taman kanak-kanak atau usia awal sekolah dasar.

Akibat gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks, anak autis tidak bisa senormal anak pada umumnya. Mereka seperti hidup dalam dunianya sendiri dan kadang bertingkah hiperaktif. Namun jika ditangani lebih dini melalui terapi kejiwaan, anak autis bisa pulih seperti anak normal.

"Semakin dini seorang anak terdiagnosis mengalami autisme, penanganan bisa makin optimal. Terutama jika anak yang mengalami autisme sudah diterapi sejak usia kurang dari 3 tahun," kata dr Yunias Setiawati SpKJ, supervisor Day Care Psikiatri Anak RSUD dr Soetomo Surabaya.

Pasalnya, menurut dia, dalam usia tersebut perkembangan otak belum optimal. Yunias mengaku, pada beberapa pasien autis yang ia tangani sejak dini, kondisinya sekarang sudah seperti anak normal. Bahkan ada yang IQ-nya bertambah dan mampu mengenyam pendidikan di sekolah internasional.

Dalam penanganan anak autis, ada beragam terapi. Di antaranya terapi biomedis, perilaku, okupasi, wicara dan musik serta edukasi keluarga. Dalam terapi medis, anak biasanya diberi obat untuk membuang kandungan logam berat dari tubuhnya. Anak autis kebanyakan memiliki kadar logam berat lebih banyak dari anak lain. Hal ini menyebabkan berubahnya susunan dan fungsi sel otak.

Banyaknya kadar logam berat dalam tubuh seorang anak bisa disebabkan banyak hal. Namun yang paling utama adalah polusi. Bahkan seorang ibu yang mengonsumsi ikan laut dari perairan yang sudah tercemar limbah atau polusi bisa menyebabkan anaknya menderita autisme.

Selain membuang zat berbahaya dalam tubuh, anak autis juga harus menjalani diet rendah casein dan gluten. Artinya, mereka tidak boleh mengkonsumsi susu sapi dan tepung terigu. Termasuk makanan yang terbuat dari kedua bahan tersebut seperti es krim dan roti.

Sebagai ganti, anak autis bisa minum susu kedelai. Untuk tepung, mereka masih bisa mengkonsumsi tepung ketan, beras, sagu, tapioka, hunkwe, bihun, kentang dan suun. Selama menjalani diet, orangtua memegang peranan penting. Pasalnya, orangtua harus disiplin dan tegas dalam mengawasi makanan yang dikonsumsi anaknya.
Merkuri Bukanlah Penyebab Autisme?
EmailCetakPDF
Benarkah merkuri bukanlah penyebab autis yang selama ini dipercaya banyak orang?
Petti Lubis, Mutia Nugraheni
VIVAnews - Kesimpulan tentang merkuri sebagai penyebab autis yang selama ini dipercaya banyak orang 'dipatahkan' dengan penelitian yang dimuat dalam jurnal Environmental Health Perspective pada 19 Oktober lalu.

Sebelumnya, sebuah penelitian mengungkapkan merkuri adalah 'biang keladi' autisme, karena kadar merkuri pada anak penderita autis sangat tinggi. Namun, pada penelitian terbaru ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan level merkuri pada anak yang normal dan anak penderita autis.

"Penelitian ini sangat penting untuk menjawab pertanyaan banyak orang, mengenai peran merkuri sebagai pemicu autisme pada anak," kata Dr. Patricia Manning-Courtney, kepala The Kelly O'Leary Center for Autism Spectrum Disorders di Cincinnati Children's Hospital Medical Center, Amerika Serikat seperti vivanews kutip dari Health.com.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perbandingan kadar merkuri pada anak yang menderita autis dan anak yang normal. Sebanyak 452 anak yang berusia antara 2 hingga 5 tahun dilibatkan dalam penelitian. 

Sampel darah mereka diambil dan beberapa pertanyaan diajukan pada ibu-ibu mereka. Pertanyaan tersebut terkait kebiasaan makan saat hamil, penggunaan obat-obatan atau vaksin, serta produk kecantikan yang digunakan.

"Interpretasi dari penelitian memang menunjukkan tidak ada hubungan antara kadar merkuri dengan autisme. Tetapi, jika dilihat kembali kadar merkuri pada anak penderita autis lebih tinggi setelah terdiagnosa. Untuk lebih mendapatkan hasil yang akurat perlu dilakukan penelitian lanjutan," kata Sallie Bernard, kepala SafeMinds (Sensible Action for Ending Mercury-Induced Neurological Disorders), seperti vivanews kutip dari Health.com.

Yang jadi masalah, setelah penelitian ini polemik tentang penyebab terjadinya autisme pada anak tampaknya akan terus menjadi misteri.
Deteksi Awal Autisme dalam Waktu Lima Menit
EmailCetakPDF
Kini, sebuah studi baru menawarkan teknik mendeteksi awal autisme dalam waktu 5 menit.
Petti Lubis, Lutfi Dwi Puji Astuti
http://www.autis.info/images/stories/anakautis20.jpg
VIVAnews - Lebih dini dideteksi, autisme bisa lebih cepat ditangani. American Academy of Pediatrics menyarankan agar melakukan pemeriksaan gejala autisme pada anak pada usia antara 18 bulan hingga 2 tahun. Tes autisme yang dilansir American Academy of Pediatrics memakan waktu hingga dua jam.

Namun, saat ini sebuah studi baru dari Emory University dan Georgia Tech menawarkan cara yang lebih cepat, yakni melakukan uji deteksi autisme dalam waktu hanya lima menit.

Proses ini disebut 'Rapid Attention Back and Forth Communication Test', atau disebut dengan "Rapid ABC". Teknik ini dapat dilakukan hanya dalam waktu lima menit melalui keterlibatan anak dalam kegiatan-kegiatan sederhana lewat komunikasi.

Tes ini bukanlah pengganti untuk pemeriksaan autisme komprehensif, namun dapat mengidentifikasi anak yang berisiko alami autisme di awal perkembangan mereka. Jika memang terdeteksi orangtua bisa memberikan mereka terapi lebih awal untuk mengatasi masalah autisme, seperti yang dikutip dari situs Momlogic.

Dr. Alana Levine, spesialis anak mengatakan, "Gejala gangguan spektrum autisme mencakup gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi. Tapi, bisa juga dicirikan lewat perilaku tidak biasa. Seperti, gerakan berulang, dan kurangnya kontak mata," katanya.

Dr. Levine juga mencatat bahwa jika Anda memiliki kecurigaan anak Anda mungkin mengidap autisme, tes "Rapid ABC" hanya tes deteksi awal, dan perlu dilanjutkan dengan uji diagnostik penuh untuk evaluasi emosional dan fisik secara menyeluruh.
Saat ini, teknik 5 menit mendeteksi autisme anak ini masih dalam proses penyempurnaan, sebelum diajarkan ke rumah-rumah sakit.
Penderita Autis, Pendidikan serta Penanganan
EmailCetakPDF
Penderita autis memiliki beberapa karakteristik seperti kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi. Penderita autis tidak tahu bagaimana mengekspresikan kesenangan atau kesedihannya. Mereka juga tidak tahu caranya berkomunikasi.
“Seorang anak penderita autis tidak tahu bagaimana cara memanggil ibunya, mereka akan menyakiti diri sendiri, memukul dirinya hingga ibunya datang, begitulah salah satu cara mereka memanggil ibunya,” ujar Roselyn.
Menurut Roselyn, penderita autis seringkali berbicara dengan nada yang monoton dan tanpa ekspresi. Terkadang mereka mengulang-ulang perkataan orang lain yang mereka dengar, atau biasa disebut echolalia.

Selain lemah berkomunikasi, penderita autis seringkali bertingkah aneh seperti selalu mengulangi kegiatan yang sama setiap harinya. “Misalnya mereka memakai seragam sekolah. Pertama pakai baju, kedua pakai celana, ketiga pakai sepatu, selalu teratur karena mereka sulit meng-organize,” ujar Roselyn.
Roselyn juga mencontohkan, seorang muridnya yang menderita autis tidak memiliki ketakutan akan bahaya. “Seorang murid saya yang berusia dua tahun suka naik ke lantai empat, mencondongkan tubuhnya ke bawah, hanya untuk mendapatkan sensasi ngeri, dia tidak tahu itu bahaya,” ujarnya.
Selain itu, anak penderita autis juga memiliki obsesi berlebih terhadap sesuatu. Misalnya mereka terobsesi terhadap angka, maka mereka akan terus memperhatikan angka-angka, atau terobsesi terhadap tali, mereka akan memaimkan tali terus menerus. “Penderita autisjuga peka terhadap sentuhan. Mereka bisa tersakiti hanya karena sentuhan kecil,” katanya.
Meskipun demikian, ada kelebihan unik yang dimiliki anak penderita autis. Mereka dapat mengingat informasi secara detil dan akurat. Ingatan visual mereka juga sangat baik dan mampu berkonsentrasi terhadap subyek atau pekerjaan tertentu dalam periode yang lama.
Anak penderita autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini. Ada beberapa penanganan yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy seperti terapi untuk penderita stroke, terapi bicara dan terapi bahasa, terapi fisik dengan melatih
otot-otot mereka, applied behavioral analysis untuk membantu mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange
communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar, mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis.
TAK hanya anak normal yang berhak mendapat pendidikan, anak penyandang autis pun memiliki hak yang sama. Pemerintah malah mengimbau kepada para penyandang autis harus mendapatkan perhatian khusus.
Undang-undang mengatakan bahwa semua warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sama. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Eko Djatmiko Sukarso mengatakan, ”Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penyandang autis,”sebutnya.
Menurut dia, semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Namun begitu, Eko menyebutkan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang Autis.Alasannya, karena setiap sekolah memiliki kebutuhanyang berbeda dalam mendidik penyandang autis.
Untuk memastikan penyandang autis mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik, Diknas telah mengisyaratkan kepada semua sekolah autis di Indonesia agar tidak mempekerjakan guru yang tidak memiliki sertifikat yang terkait dengan penyandang autis. Penyandang autis harus mendapatkan perhatian yang khusus. Data yang dimiliki Departemen Nasional menyebutkan, jumlah penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar masyarakat.
Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis hingga kini berjumlah 1.752 sekolah. Jakarta sendiri memiliki 111 sekolah untuk para penyandang autis. Sudah barang tentu kurikulum dan pendekatanyang diberikan sekolah berkebutuhan khusus ini pun berbeda dari sekolah pada umumnya. Psikolog dari sekolah khusus autis Mandiga Dyah Puspita mengatakan, kurikulum untuk autis, bahkan dibuat berbeda untuk tiap individu.
Mengingat masing-masing individu memiliki kendala dan kebutuhan tersendiri. Misalnya ada anak yang butuh diajarkan komunikasi dengan intensif,ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri. Sementara ada pula yang perlu hanya fokus pada masalah akademis. Untuk itu,beragam terapi yang berbeda pun diberikan kepada anak-anak penderita autis.Kepala Sekolah AGCA Centre Bekasi Ira Christiana mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis.
Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas,dan fisioterapi.”Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya,”katanya. Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun, berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun.Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. ”Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah,” ujar Ira.
Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali,maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan saraf motorik kasar dan halus. Sebaliknya, penyandang autis yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler. Dengan catatan, mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis. Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara.
Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan,meniru, dan okupasi.Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, maupun melafalkan huruf A dan melafalkan konsonan. Bagi pelaku pendidikan yang berkecimpung dalam dunia pengajaran untuk anak autis ini mengaku, mereka mendapatkan kebahagiaan tersendiri bila melihat siswa didiknya ditempatkan di sekolah reguler.”Itu berati kami berhasil mendidik mereka (siswa) sehingga mereka dapat bergaul dengan temanyang normal,”kata Ira.
Rasa senang tak pelak menghampiri Ira jika siswa didiknya mengalami kemajuan yang pesat. Seperti jika mereka mampu menyebut kata mama atau papa. Menurut Ira,kemajuan setiap anak berbeda, tergantung dari kemampuan mereka menerima rangsangan dari luar. Di tengah segala keterbatasanyang dimiliki, anak-anak berkebutuhan khusus pun memiliki bakat tersendiri. Di sinilah peran orang tua untuk melihat secara jeli bakatyang dimiliki anak.
Theresia Tristini menyadari bahwa putranya, Ryan, memiliki bakat melukis. Kendati penyandang autis,dengan lincah Ryan mengoleskan kuas di atas kanvas.”Lewat melukis,Ryan seakan mengomunikasikan pikirannya dan membuatnya menjadi ekspresif,”ujarnya. Menurut pelukis Aliantoyang kerap mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus, pada usia lima tahun mereka sudah dapat diarahkan untuk melukis.
Dan jika kemampuan itu terus diasah, dalam kurun waktu hampir empat tahun, para pelukis muda yang menyandang autis tersebut, telah dapat melukis dengan lebih baik. ”Tergantung dari si anak sendiri,” kata Alianto yang juga merupakan pemilik Rumah Belajar ini. Alianto mengaku, untuk membimbing anak-anak berkebutuhan khusus ini tidaklah mudah.Karenanya, membutuhkan pendekatan tersendiri agar si anak mau melukis dan dapat bekerja dengan fokus.
”Awalnya saya menyuruh mereka menggambar sebuah objek. Lalu saya bilang, ‘kalau hanya satu gambarnya kurang bagus’.Mereka lalu menggambar objek lain untuk melengkapi lukisan,”ujar Alianto. Alianto menambahkan, sebenarnya setiap anakyang sedang melukis, sebaiknya didampingi orang tua.Terlebih lagi mereka yang berkebutuhan khusus tersebut. Sayangnya, masih banyak orang tua dari anak berkebutuhan khusus ini, yang tidak memperhatikan pentingnya ihwal pendampingan tersebut dan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada guru lukisnya.
Hal ini dibenarkan ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman. Menurut dia, proses pendampingan tersebut bertujuan memberikan motivasi kepada sang anak dalam mengembangkan karya mereka. Bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini,melukis bukan sekadar pemuas hobi. Lebih dari itu,melukis berfungsi sebagai terapi untuk melatih motorik si anak.
Kasih sayang serta kesabaran ekstra merupakan pendekatan yang kerap terabaikan dalam pendidikan anak autis di sejumlah klinik terapi. Karena upaya membentuk perilaku positif terhadap mereka tanpa sadar cenderung bernuansa kekerasan, maka anak menjadi trauma, takut mengikuti terapi, atau orangtuanya yang tidak terima.”Bahkan, terkesan pembentukan perilaku pada anak autis seperti mendidik perilaku hewan. Misalnya, menyuruh duduk dengan mata melotot, bentakan, teriakan. Kalau tidak menurut disentil, dijewer, dan tindakan kekerasan lain,” ungkap psikolog anak Dra Psi Hamidah MSi dalam seminar “Pendidikan Anak Autis dengan Pendekatan Humanistik” yang digelar Perhimpunan Autisme Indonesia pada Kongres Nasional Autisme Indonesia I di Jakarta, Sabtu (3/5).
Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti, tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.
Ada juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras.”Memang benar harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk perilaku positif pada anak autis,” kata Hamidah.
Menurut dia, apa yang diajarkan terapis harus dilanjutkan orangtua di rumah. Tanpa peran orangtua itu bisa sia-sia. “Waktu di tempat terapi paling hanya empat jam. Sisanya ketelatenan dan kesabaran orangtua sangat amat penting demi kesembuhan dan perkembangan si anak,” tegas Hamidah.
Namun, sejauh yang diketahuinya biaya terapi di berbagai klinik terapi di Indonesia masih relatif mahal sehingga hanya mampu menjangkau kalangan mampu.
Anak autis juga bisa belajar
EmailCetakPDF
Saat si kecil terdiagnosa mempunyai bakat khusus berupa autisme, rasa kaget tak dapat dipungkiri pasti ada di pikiran Anda. begitu juga dengan kehidupannya nanti. Bagaimana caranya belajar? Bagaimana nanti dengan perkembangannya? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak autis? Semoga yang di bawah ini dapat membantu menjawab berbagai pertanyaan Anda.

1. Terapi apa yang paling cocok bagi anak autis?
Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa  reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain. Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.
2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?
Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.
3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?
Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.
4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?
Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya
sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,
serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.
5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?
Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan
6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?
Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).
7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus
8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?
Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.
9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?
Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.
10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?
Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.
11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?
Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.
12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?
Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.
13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?
Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.
14. Apakah pada akhirnya anak autis dapat hidup di lingkungan umum tanpa perlakuan khusus?
Untuk beberapa kasus yang amat jarang terjadi (sampai saat ini), ada individu dengan autisma dengan kemampuan berkomunikasi yang memadai, tingkat inteligensi yang memadai, serta pendidikan dapat mendukung dirinya untuk mandiri dan berbaur dengan lingkungan tanpa perlakuan khusus. Hal ini bergantung pada faktor internal (diri anak autis sendiri) dan faktor eksternal, yaitu lingkungan, apakah sistem di lingkungan mendukung atau memungkinkan anak autis untuk dapat berfungsi secara baik dalam kesehariannya.

erapi Berkuda Bagi Anak Autis
EmailCetakPDF
http://www.autis.info/images/stories/autisme/anaknaikkuda.jpgDengan berkuda, anak belajar menjalin relasi.
Pagi itu udara Lembang sangat sejuk ketika Pricilla Armelita (11 tahun) dan Patricia Melvina Saputra (11), tengah asyik berkuda. Mereka tampak terbiasa mengikuti irama gerak kuda. Tidak seperti anak-anak pada umumnya, si kembar paling sedikit tiga kali dalam seminggu berkuda.

Ifen, ibunya, selalu rutin membawa Pricilla dan Partricia ke tempat wisata berkuda DeRanch Lembang, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Bukan sekadar untuk bermain atau berwisata, mereka menjalani terapi autis dengan menunggang kuda. "Anak saya sulit berkomunikasi dan selalu tertutup," kata Ifen, Kamis (28/1).
Autisme adalah suatu gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak. Akibatnya, anak tak mampu berinteraksi dengan dunia luar secara efektif. Mereka seolah sibuk dengan dunianya sendiri.Menghadapi kondisi seperti itii, Ifen hampir putus asa untuk menyembuhkan kedua anaknya. Berbagai macam terapi dan pengobatan telah dicoba. Biaya yang telah dikeluarkan juga tidak sedikit, namun ia belum melihat perubahan yang berarti.
Hingga akhirnya, setahun yang lalu, sarjana psikologi sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung ini membawa Pricilla dan Patricia untuk belajar berkuda. Tanpa sengaja, Ifen bertemu dengan Billy Mamolo, seorang instruktur berkuda yang juga salah seorang pemilik DeRanch.
Berlatih konsentrasi
Oleh Billy, Pricilla dan Patricia dilatih cara menunggang kuda yang benar. Mulai dari cara menaiki kuda, memegang pelana, hingga mengendalikan kuda. Billy semakin intensif mendidik keduanya ketika mereka memasuki liburan sekolah. Hampir setiap hari Pricilla dan Patricia datang untuk menunggang kuda.
Tidak hanya sekadar berkeliling pedok (areal khusus), Billy juga mengajak Pricilla dan Patricia riding out (berkuda keluar) ke hutan yang banyak ditumbuhi pohon Pinus di sekitar Tangkuban Perahu. Pohon pinus mengeluarkan ion yang positif," kata Billy.
Setelah dua bulan, Billy melatih Pricilla dan Patricia teknik menunggang kuda yang benar, ter-nyata ada perubahan positif yang terjadi pada kedua anak tersebut. "Anak saya mulai bisa diajak berkomunikasi dan sudah mau menceritakan tentang pengalamannya kepada saya," ujar Ifen.
Sejak saat itu, Ifen memutuskan meneruskan terapi berkuda kepada kedua putrinya. Billy pun mulai tekun untuk mengembangkan terapi autis melalui berkuda secara otodidak, melakukan riset kecil-kecilan, dan mengikuti seminar tentang manfaat berkuda ke beberapa negara. Akhirnya, ia menemukan metode terapi autis dengan berkuda yang baku.
Kini sudah puluhan anak autis yang ditangani oleh Billy."Ternyata benar kalau Nabi Muhammad menganjurkan kita untuk belajar berkuda," kata Billy.Dengan menunggang kuda, anak autis dilatih konsentrasi, keseimbangan, perasaan, kepekaan, dan emosi. Karena, kata Billy, selain membutuhkan konsentrasi dan keseimbangan, memperlakukan kuda agar mau menurut dengan penunggangnya dibutuhkan perasaan dan pengendalian emosi.
Berbeda dengan manusia, Billy menjelaskan, kuda tidak bisa dibayar dengan uang agar dia mau mengikuti perintah. "Kuda harus diperlakukan dengan kasih," tambahnya. Hal ini yang kemudian dapat mengurangi kesulitan anak autis dalam menjalin hubungan sosial.
Jam terbang
Billy menengarai, dampak positif berkuda bagi anak autis terasa setelah 40 jam menunggang kuda. Jam terbang sebanyak itu bisa diperoleh dengan menunggang kuda minimal seminggu sekali selama satu jam. "Tentunya harus berkelanjutan."
Bila sudah cukup mahir berkuda dan jam terbangnya telah terpenuhi, kepekaan anak mulai dilatih. Caranya, menunggang kuda ke hutan yang ditumbuhi pohon pinus. Dengan medan berkuda yang lebih sulit, kata Billy, tentunya si anak juga harus peka dengan kemauan si kuda ketika menghadapi rintangan di depannya.
"Jadi si anak harus peka dengan kemauan si kuda. Kalau sudah begitu tidak mungkin menuruti dirinya sendiri, sehingga dia mau tenggang rasa dengan orang lain," tutur Billy.Untuk melatih kepekaan dengan cara penanganan seperti itu, dibutuhkan waktu selama 20 jam menunggang kuda. Billy menyakini, selama proses belajar berkuda, akan ada perubahan sikap yang positif bagi penyandang autis, seperti yang terjadi pada Pricilla dan Patricia.
Tidak ada batasan usia untuk mengikuti terapi ini. "Ini juga berlaku untuk anak normal," tambah Billy.Menurut Billy, terapi seperti ini bisa dipraktikkan oleh siapa saja, sepanjang instrukturnya mengerti betul tentang berkuda dan si penyandang autis tidak merasa terpaksa. Ia rela berbagi dengan siapa saja yang ingin mempelajari metode terapi seperti ini.
Billy mengaku tidak memasang tarif khusus untuk mendidik anak autis. Di DeRanch Lembang dikenakan tarif Rp 5 ribu untuk sekali masuk. Untuk menunggang kuda selama satu kali putaran mengelilingi pedok dikenakan tarif Rp 15 ribu. Sedangkan untuk paket fun riding bertarif Rp 100 ribu per jam dan paket riding out Rp 150 perjam. Semua aktivitas berkuda dilakukan dalam pengawasan instruktur.
Saat ini, DeRanch Lembang tengah menyiapkan paket khusus untuk penanganan anak autis. Selama ini, kata Billy, memang belum tersedia paket berkuda untuk anak autis. Sehingga, orang tua penyandang autis membawa anaknya sesuai dengan keinginannya masing-masing. "Kapan saja mereka bisa datang membawa anaknya."
Hanya saja, kata Billy, terkadang justru orang tua yang tidak rajin mengantarkan anaknya sehingga hasilnya tidak maksimal. Selain itu, sering kali orang tua tidak sabar melihat perkembangan anak. Mereka ingin hasil instan, anak cepat berubah, sementara jam terbang berkudanya tidak terpenuhi. "Terapi seperti ini butuh waktu, kesabaran, dan dukungan orang tua," ujar Billy
Bagi Billy, uang bukan segalanya. Untuk mengamalkan ilmunya, ia mengaku bersedia tidak dibayar untuk menerapi penyandang autis yang berasal dari keluarga tak mampu. "Silakan datang saja. Kita akan menerima dengan tangan terbuka," katanya.Rencananya, Billy akan membangun sebuah asrama khusus untuk-anak autis yang tengah mengikuti terapi. Hal ini dimaksudkan agar terapi bisa dilakukan secara lebih intensif. ci4
Dilema Anak Autis
EmailCetakPDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
Jakarta, Angka kejadian autisme di Indonesia terus meningkat dan sudah mengkhawatirkan. Tapi hingga kini permasalahan anak autis masih sangat rumit dan menjadi dilema bagi penyandangnya. Anak-anak yang memiliki gejala autis sudah ada sejak zaman dahulu, tapi tak sedikit dari anak-anak ini yang mendapatkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Lalu apa saja masalah autisme yang ada di Indonesia?

Anak-anak yang memiliki gejala autisme sudah ada di Indonesia sekitar tahun 1990. Awalnya penyakit ini sering dikira hanya penyakit orang kaya saja, padahal semua orang dari berbagai ras, ekonomi sosial dan tingkatan pendidikan bisa terkena autisme.

"Angka kejadian autisme di Indonesia cukup meningkat dan sudah mengkhawatirkan. Tapi hingga kini di Indonesia permasalahan autisme masih sangat rumit," ujar Dr Melly Budhiman, SpKJ dalam acara Expo Peduli Autisme 2010, di Gedung Sucofindo, Jakarta, Sabtu (17/4/2010).

Lebih lanjut Dr Melly menuturkan ada 8 permasalahan autisme di Indonesia, yaitu:

1. Geografis Indonesia yang terlalu luas
Indonesia terdiri dari 17.000 pulau dan hanya sekitar 800 pulau yang berpenghuni. Hal inilah yang menimbulkan kesulitan dalam menjangkau anak-anak autis di daerah-daerah. Hingga kini diperkirakan anak autis di Indonesia bagian timur belum tertangani dengan baik. Selain itu anak-anak autis yang berada di pulau lain hanya sedikit yang bisa membawa anaknya ke Jakarta, sedangkan penanganan autisme itu membutuhkan waktu jangka panjang.

"Karena besarnya luas Indoensia jadinya sulit untuk melakukan survei atau pendataan mengenai penyandang autis di Indonesia," tambahnya.

2. Sulitnya penanganan autis di berbagai daerah
Banyaknya etnis yang ada di Indonesia juga terkadang menyebabkan adanya persepsi yang berbeda-beda mengenai penanganan autisme. Pada daerah yang memiliki kepercayan tinggi terhadap magis-mistis akan lebih percaya jika anaknya ditangani oleh dukun. Sementara itu didaerah lain ada yang memasung anak autis karena dianggap memiliki penyakit jiwa.

"Banyak dokter di daerah yang belum begitu mengerti mengenai autisme dan juga tidak adanya pusat terapi di daerah-daerah atau pusat kesahatan yang menyulitkan orangtua untuk melakukan penanganan lebih lanjut," ungkap dokter yang juga menjadi Ketua Yayasan Autisma Indoneisa.

3. Kurangnya tenaga profesional
Anak-anak yang menunjukkan gejala autisme timbul dalam waktu yang cepat, sehingga para praktisi kesehatan belum siap untuk mengimbanginya ditambah dengan pengetahuan yang masih terbatas mengenai autisme. Dr Melly mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang autisme semakin berkembang. Hingga kini hanya ada sekitar 40 psikiater anak yang 50 persenya berada di Jakarta.

Selain itu banyaknya dokter yang belum mengerti tentang autisme serta kurangnya tenaga profesional menyebabkan seringnya salah diagnosa seperti dikira anak kurang stimulasi, mengalami gangguan bicara, ADHD atau keterbelakangan mental. Akibatnya penanganan yang diberikan menjadi tidak tepat, sehingga perbaikan gejala yang ada menjadi lebih lambat. Hal ini bisa membuat kondisi anak autis menjadi lebih berat.

4. Pandangan masyarakat mengenai autisme
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengerti tentang autisme. Mereka memiliki pandangan berbeda-beda terhadap anak autis, ada yang bilang bahwa anak autis adalah anak nakal yang sulit diatur, anak keterbelakangan menta, sakit jiwa atau kemasukan roh jahat. Selain itu tidak semua orangtua mau mengakui kondisi anaknya, masih banyak yang menolak atau menyembunyikannya karena merasa malu.

"Sayangnya banyak juga masyarakat atau lingkungan yang tidak mendukung usaha dari orangtua anak autis. Tak jarang keluarga anak autis seringkali dijauhi karena dianggap bisa menulari anaknya, atau anak autis sering diejek dan dijadikan bulan-bulanan oleh teman sebayanya," tambahnya.

5. Terapi yang mahal
Kebanyakan pusat-pusat terapi hanya berada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya serta sulitnya mendapatkan terapis yang benar-benar mengerti cara menangani anak autis. Tak sedikit pusat terapi yang hanya bertujuan mencari uang saja dan terapis tidak dibekali pengetahuan dan kemampuan yang cukup.

Penyebab autisme sangat kompleks, karenanya tidak ada satupun obat yang bisa menyembuhkan autisme dengan cepat. Untuk memperbaiki gangguan yang ada bisa memakan waktu lama bahkan hingga bertahun-tahun, karenanya tidak semua kalangan bisa membayar terapi untuk anaknya.

6. Asuransi tidak menerima anak autis
Asuransi kesehatan memang gencar mempromosikan diri menawarkan jasanya, tapi sulit sekali mencari asuransi yang mau menerima anak autis. Alasan yang sering dikemukakannya adalah autisme "penyakit bawaan" yang tidak bisa disembuhkan. Selain itu banyak kantor yang tidak mau menanggung pengobatan anak autis karyawannya. Akibatnya penanganan untuk anak autis ini harus ditanggung sendiri oleh orangtuanya.

7. Permasalahan di sekolah
Setelah melakukan berbagai terapi selama bertahun-tahun, maka anak-anak sudah siap untuk masuk sekolah formal. Namun banyak orangtua yang bingung kemana harus memasukkan anaknya, hampir sulit sekali mencari sekolah khusus untuk anak autis. Sedikit sekali sekolah umum yang mau menerima anak berkebutuhan khusus dan terkadang harus membayar lebih mahal.

"Tidak jarang keberadaan anak autis di sekolah diprotes oleh para orangtua teman-temannya. Selain itu anak autis juga sering menjadi bahan ejekan oleh teman-temannya, dan guru yang mengetahuinya kadang tidak melarang hal ini," ujar staf psikiatri anak di RS MMC Kuningan.

8. Peran pemerintah masih minim
Peran pemerintah hingga kini masih minim dan belum bisa berbuat banyak untuk anak-anak autis di Indonesia. Padahal jika anak-anak ini tidak tertangani dengan benar akan membuatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang tidak bisa mandiri dan tidak mampu menghidupi diri sendiri. Hal ini tentu saja akan menajdi beban bagi keluarga maupun pemerintah.

"Masyarakat yang belum megerti perlu diberikan edukasi mengenai autisme, sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, pelecehan ataupun bullying. Dan dibutuhkan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk membantu anak-an

Semprotan Hidung untuk Penderita Autis
EmailCetakPDF
http://www.autis.info/images/stories/autisme/spray.jpgNurul Ulfah - detikHealth
Ottawa, Sebuah semprotan hidung yang mengandung hormon oxytocin diciptakan khusus oleh peneliti untuk membantu penderita autis agar bisa lebih bersosialisasi.

Peneliti melakukan studi terhadap 13 orang autis, baik yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi maupun rendah. Partisipan yang menghirup spray (semprotan) itu dilaporkan lebih bisa berinteraksi dengan lainnya daripada partisipan yang tidak menghirup spray.

Penderita autis memang diketahui kesulitan dalam berkomunikasi, khususnya melakukan kontak mata. Tapi dengan menambahkan hormon oxytocin pada tubuhnya, hal itu bisa diatasi. Oxytocin diketahui sebagai kunci untuk meningkatkan sikap sosialisasi dan pengertian.

"Penambahan hormon oxytocin membuat penderita autis tingkat tinggi sekalipun, bisa merespons orang lain dan menunjukkan perilaku yang lebih bersosialisasi," kata Elissar Andari dari the Institutes des Science Cognitive seperti dilansir Telegraph, Senin (15/2/2010).

Dalam presentasinya di Mediterranean Conference Neuroscience di Mesir, terapi oxytocin disarankan sebagai salah satu alternatif pengobatan untuk penderita autis. Sekitar 500.000 orang Inggris dilaporkan menderita autis, dan kondisi tersebut membuat penderitanya tidak bisa sekolah atau bekerja seperti orang normal lainnya.

Selain bermasalah dengan komunikasi, penderita autis juga sangat sensitif terhadap suara, sentuhan, rasa, penciuman atau warna. Pengobatan yang dilakukan berbeda-beda tergantung tingkat autisme, tapi hal itu membutuhkan waktu yang lama.

Sebelumnya pada tahun 2007, nasal spray untuk penderita autis pernah diciptakan oleh Stan Kurtz, peneliti dari Autism Research Institute yang juga memiliki seorang anak autis.

Tak hanya autis, penyakit lainnya seperti ADHD, disleksia, dan penyakit yang berhubungan dengan sistem imun tubuh juga bisa diatasi dengan spray yang mengandung bahan Methylcobalamin (MB12) tersebut.

Efek MB12 Nasal Spray itu bisa terlihat dalam hitungan menit bahkan detik dan efeknya bisa bertahan hingga 24 jam. Namun efek tersebut bisa berbeda-beda untuk tiap-tiap orang, tergantung tingkat penyakitnya.

Harga sebotol MB12 Nasal Spray yang bisa digunakan untuk 45 hingga 90 hari adalah US$ 40 atau Rp 400.000 (kurs 10.000/dolar AS).(fah/ir)

Ajari Anak Autis Berenang

EmailCetakPDF
http://www.autis.info/images/stories/autisme/anakautisberenang.jpgTIDAK mudah mengajarkan sesuatu pada anak-anak yang memiliki kelainan mental atau autis. Seperti renang misalnya. Karena olahraga iniakan memberi stimulus otak yang bagus.

Bukan hanya anak normal yang bisa mendapatkan kesenangan. Seperti bermain dan berenang. Anak autis pun bisa melakukannya. Dengan ketelatenan orang tua, anak bisa berkembang dengan baik, termasuk bisa berenang di kolam renang umum atau water boom.

Banyak alasan yang baik untuk membawa anak-anak berenang sedini mungkin. Makin muda mereka makin mudah untuk belajar berenang. Berenang merupakan olahraga all round yang baik sekali. Membantu mengembangkan pengendalian pernapasan dan dapat sangat menyantaikan.

Berenang merupakan sesuatu kegiatan yang dapat bersama-sama dinikmati oleh keluarga dan sering merupakan cara yang baik untuk mempertemukan anak dengan orang tua.

Umumnya anak kecil berhasil paling baik jika diperkenalkan ke air oleh ibu atau bapaknya. Jika kita sendiri merasa cemas terhadap air, cobalah pergi bersama seorang dewasa yang lebih percaya diri.

Pergilah ke kolam renang anak-anak yang dangkal. Sasaran umumnya adalah membuat anak menikmati berada di dalam air dan bergerak bebas mundur, maju, dan ke samping, tengadah, telungkup, kalau mungkin dengan pelampung.

Jagalah agar tiap kegiatan berjalan singkat. Anak akan belajar lebih banyak dalam kunjungan singkat tetapi sering daripada kunjungan yang lama tetapi hanya kadang-kadang. Hal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan percaya diri terhadap air pada anak-anak dengan keterbelakangan mental ini adalah, pada kunjungan pertama, ajaklah anak untuk berjalan-jalan tanpa benar-benar berenang.

"Ini akan memberinya peluang untuk anak agar menyaksikan apa yang akan terjadi dan membiasakan diri dengan suasana, kebisingan dan tempat yang baru. Itu akan membuat anak-anak merasanya punya kesempatan untuk beradaptasi." kata Psikolog Anak alumni Universitar Indonesia (UI), Dr Savitri Yulia, dihubungi beberapa waktu lalu.

Tidak sampai di situ saja, Yulia juga menyarankan anak-anak melihat kamar ganti, loker dan membahas apa yang akan dilakukan pada kunjungan berikutnya. Jika waktu kunjungan berikutnya hal-hal yang harus dilakukan di dalam air menurut Yulia adalah, pegang anak dekat-dekat dan naik turunkan anak dengan lembut ke dalam air. Secara bertahap dan perlahan, hingga kakinya basah. Perkenalkan anak di kolam dangkal terlebih dulu agar anak bisa duduk, merangkak atau sekedar berjalan maju mundur hingga bahunya basah.

Nantinya sesampai di kolam sedalam satu meter atau lebih, usahakan agar wajah orang tua dan wajah anak sama tinggi. "Pegangi tubuhnya di ketiaknya. Perlahan basahi kepalanya dan wajahnya. Lalu alihkan ke bawah dada dan pinggulnya, posisi anak tetap telungkup. Ini akan mampu membantu menenangkan anak," katanya.

Jika terasa anak sudah mulai tenang, usahakan agar tangan dan kakinya bisa bergerak di dalam air dengan menendang kaki dan mengayuhkan lengan. Lihat terus, apakah anak menikmatinya. Kalau bisa teruskan dengan memberinya semangat untuk menghembuskan air perlahan-lahan ketika menenggelamkan wajahnya dalam air. Kalau perlu dan memungkinkan, pakailah ban pelampung berbentuk lingkaran atau gelang lengan untuk keamanan. Kadangkala membawa mainan seperti bola atau perahu-perahuan akan membantu anak lebih tenang.

"Tenangkan anak jika mereka merasa panik, atau segera keluar dari kolam jika anak mulai gelisah dan berteriak. Tenangkan mereka dan cobalah kembali proses mengenalkan kolam pada anak," kata psikolog berjilbab tersebut.

Terapi lumba-lumba

Bila si kecil penderita autis sudah hobi berenang, mungkin Anda bisa mengajaknya untuk melakukan terapi lumba-lumba. Sebuah terapi yang disinyalir sangat bermanfaat untuk si autis. Selama berabad-abad, dolphin dikenal sebagai mahluk yang cerdas dan baik hati. Cerita mengenai kepahlawanan mereka menolong perenang-perenang yang kecapaian sudah ada sejak zaman dahulu.

Para dokter saat ini mencoba memakai dolphin untuk terapi bagi anak dengan kebutuhan khusus. Anak-anak ini suka berada dalam air yang hangat, menyentuh tubuh dolphin dan mendengar suara-suara yang dikeluarkan oleh dolphin-dolphin tersebut. Dalam 2 dekade terakhir ini beberapa terapis dan psikolog berpendapat bahwa berenang dengan dolphin mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Beberapa orang bahkan percaya bahwa getaran dolphin dapat menyembuhkan sel manusia.

Para dokter di Dolphin-Human Therapy Center percaya bahwa mahluk yang sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak dengan berbagai gangguan saraf, bahkan anak dengan sindroma down dan autisme. Getaran sonar dolphin yang unik dapat mengindentifikasi gangguan saraf pada manusia, lalu menenangkannya sehingga lebih mudah bisa menerima pelajaran dan penyembuhan. Namun banyak pula para ilmuwan yang berpendapat bahwa anak-anak hanya menyukai bersentuhan dengan dolphin, dan berenang dengan dolphin hanya merupakan suatu rekreasi saja.

Sebuah penelitian dilakukan di Dolphin-Human Therapy Center di Key Largo, Florida. David Cole, seorang ilmuwan dalam bidang neurology menciptakan alat khusus untuk mengukur effek dari dolphin pada otak manusia. Cole mendapatkan bahwa ada suatu perubahan bila manusia berinteraksi dengan dolphin. Setelah berinteraksi dengan dolphin didapatkan bahwa anak-anak tersebut menjadi lebih tenang. Banyak peneliti berpendapat bahwa relaksasi inilah yang merupakan penyebab keberhasilan terapi lumba-lumba. Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang sistem kekebalan tubu

Mendampingi Saudara Sekandung Autis
EmailCetakPDF
http://www.autis.info/images/stories/autisme/anakautis011.jpgHIDUP dengan saudara kandung yang mengalami gangguan autistik membuahkan kesan tersendiri. Pengertian dan kesabaran ekstra diperlukan dalam memahami saudara berkebutuhan khusus ini.

"Saya Nikita, adik kandung dari Oscar, seorang penyandang autis. Usia kami hanya terpaut setahun. Hobi kami sama, sama-sama suka sepak bola. Jadi kalau ngobrolseharusnya bisa nyambung, tapi terkadang Oscar suka berlagak lupa."

Itulah penuturan Nikita, pria berusia 28 tahun asal Jakarta yang sejak kecil hidup dan tumbuh bersama Oscar, kakak lelakinya yang mengalami gangguan autistik atau kerap disebut autis saja.

Dalam acara Autism & Friends yang diselenggarakan Stikom The London School Public Relations (LSPR) di Exhibition Hall Senayan City Jakarta, akhir pekan lalu, Nikita mengungkapkan suka-dukanya hidup berdampingan dengan sang kakak yang usianya setahun lebih tua itu.

Awalnya, Nikita kecil tidak tahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Sewaktu umur 7 tahun, orangtua memberi tahu Nikita bahwa kakaknya autis. Namun, Nikita tidak paham dan hanya tahu bahwa sang kakak "berbeda" dengan orang lain.

"Kalau teman-teman sebaya lain kan biasanya suka pamer: 'kakakku bisa begini, kakakku bisa begitu'. Nah sayangnya kakak saya enggak bisa ngapa-ngapain, bisanya ngomong sendiri," kenang Nikita yang sejak playgroup sampai SMA selalu satu sekolah dengan kakaknya.

"Bahkan, waktu SD kami selalu sekelas. Penyebabnya, Oscar telat masuk SD," imbuhnya.

Sebagai seorang adik, tentu dia mendamba sosok kakak yang bisa membimbing dan melindunginya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Nikita lah yang selalu menjadi "pahlawan" bagi Oscar.

Misalnya, sewaktu SD Nikita hampir berkelahi gara-gara membela Oscar yang diganggu kakak kelasnya. Selama SD, keinginan Nikita untuk bermain juga agak terbatasi karena harus membantu menjaga sang kakak. Namun, dia mengaku ikhlas.

"Sebabnya enggak tahu kenapa, mungkin karena saya sayang, jadi enggak perlu tahu alasannya. Ya pokoknya sayang aja," tukasnya.

Menginjak SMP, sikap bullying seperti kasak-kusuk omongan tidak sedap dari teman-teman sekolah yang hanya bisa menghakimi daripada mengasihi, tak urung membuat telinga panas. Malu, aneh, dan rasa diperlakukan tidak adil sempat menyergap masa remaja Nikita.

"Syukurlah waktu SMP kelas 2 saya sudah tahu kebenaran bahwa kakak saya seperti itu, sebagai paket yang diberikan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah saya memahami, jadinya kalau orang ngomongin pun enggak masalah," beber Nikita.

Bullying memang sering terjadi pada anak autis di sekolah dasar dan menengah, yang mana hal ini sebenarnya dapat dicegah dengan melatih kemampuan berteman dan bergaul pada usia yang lebih dini. Namun, kemampuan berkomunikasi sebagai dasar bersosialisasi harus dikembangkan dulu.

Hal tersebut tentu membutuhkan usaha yang kontinu dan kesabaran. Pada tahap awal misalnya, penyandang autis bisa menunjukkan gejala kesulitan berbicara, penyendiri, dan suka melakukan tindakan yang sama berulang-ulang.

Menurut pengalaman Nikita, sang kakak juga cenderung cuek atau mengusulkan pemecahan masalah yang "tidak nyambung" dengan konteks masalah yang sedang dibicarakan. Setiap kali mau berantem atau mau melangkah ke adu fisik, dia (Oscar) mencetuskan jalan keluar yang "beda". Misalnya suatu ketika dia datang ke kamar Nikita lalu menulis di kertas: "daripada berantem mendingan main basket".

Atau tanpa ditanya dia mengemukakan fakta-fakta tentang basket. "Pokoknya hal yang enggak nyambung sering dia tanyakan atau ungkapkan. Mungkin memang begitu cara dia meredam emosi saya. Ya, ngapain juga diladeni, tapi anak autis biasanya jujur. Kalau rutinitas jangan ditanya, Oscar tiada duanya, benar-benar super!" tandasnya tentang sang kakak yang kini berada di Singapura.

Gina, gadis berusia 15 tahun mengungkapkan pengalaman berbeda. Resya, adik Gina yang baru berusia 5 tahun juga mengalami gangguan autistik.

"Mama yang bilang ke aku waktu Resya umur 3 tahun. Sampai sekarang adikku itu belum bisa ngomong, paling-paling menyebut mama dan papa. Kalau memilih baju sendiri di lemari dia bisa, lalu minta dipakaikan. Kami juga suka main bola dan berenang seminggu sekali," ungkapnya.

Dengan penuturan yang agak terbata-bata, Gina mengungkapkan rasa sedih dan "pengingkaran" dalam dirinya ketika tahu sang adik "berbeda". Pikirnya, masih banyak orang yang jauh lebih sabar untuk menerima cobaan itu.

"Tapi ternyata Tuhan sudah menitipi kami, jadi aku juga berlatih untuk lebih sabar. Untungnya, sebelumnya di sekolahku juga banyak anak autis, jadi enggak aneh lagi," ungkap sulung dari 3 bersaudara itu.

"Aku berusaha ngertiin Resya dan mengajak dia main lebih sering dari Fauzan, adik keduaku. Kadang kalau enggak sesuai keinginan atau frustrasi, Resya suka memukul-mukul atau menangis. Harapanku sekarang, Resya bisa ngomong dulu," katanya.

Bukan Pengganti Orangtua


Sebagai orangtua yang punya anak berkebutuhan khusus (ABK), perhatian dan kerja keras biasanya lebih tercurah ke ABK tersebut. Akibatnya, saudara kandung si autis jadi terlupakan. Adilkah?

"ABK memang butuh perhatian ekstra, tapi saudara kandungnya juga perlu diperhatikan," tandas pakar gangguan autistik, DR Adriana S Ginanjar MS.
(Koran SI/Koran SI/nsa)

Anak Autis Butuh Dorongan & Pendampingan

EmailCetakPDF
http://www.autis.info/images/stories/autisme/anakautis010.jpgBAGI anak yang menderita autis, maka orangtua sudah selayaknya memberikan dorongan penuh kepada sang anak, termasuk dalam minat dan hobi yang disukai. Membebaskan anak untuk menekuni hobi yang dipilihnya, memang sudah sepantasnya. Namun, itu saja belum cukup. Sebab, anak pun perlu mendapat pendampingan dan tidak terkecuali bimbingan dari orangtua langsung.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman. Menurut dia, proses pendampingan anak ketika tengah melakukan hobi yang disukai, bertujuan memberikan motivasi kepada sang anak dalam mengembangkan karya mereka.

Melly menyayangkan, banyak orangtua yang hanya menyerahkan urusan pendampingan ini kepada terapis atau pengasuhnya semata. Jadi, mereka lantas menjadi lebih dekat dengan orang lain ketimbang orangtuanya sendiri.

Lebih jauh Melly menuturkan. Berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan bakat anak, bisa dipilih. Salah satunya dengan memasukkan anak ke sanggar melukis.

Bagi anak-anak autis, melukis bukan sekadar pemuas hobi. Lebih dari itu, melukis berfungsi sebagai terapi, untuk melatih motorik si anak.

”Karena motorik anak autis misalnya, jelek sekali. Mereka kalau mewarnai sering keluar garis. Nah, dengan latihan melukis, mereka menjadi lebih fokus dan tenang sekaligus melatih kepercayaan diri,” papar Melly.

Setali tiga uang dengan pendapat Theresia Tristini, orangtua dari Ayan, pelukis muda yang mengidap autis. Theresia mengaku, sejak mulai melukis, Ryan menjadi lebih tenang. ”Dia untuk berbicara susah, tapi lewat melukis dia seakan mengomunikasikan pikirannya dan membuatnya menjadi ekspresif,” ujarnya.

Uniknya, objek yang dilukis Ryan, cukup sekali dilihatnya kemudian langsung dituangkannya dalam kanvas dengan objek yang spesifik. ”Misalnya sedang dalam perjalanan dan melewati patung Pancoran. Dia akan menggambarnya sesampai di rumah,” tandas Theresia.

Perlu diketahui, setiap anak memiliki talenta berbeda. Karenanya, tugas orangtua untuk mencari tahu bakat anak. Boleh juga orangtua memasukkan anak ke kursus renang. Menurut Melly, berenang juga bermanfaat dalam melatih koordinasi motorik dan otot-otot serta berfungsi sebagai brain gym.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri
EmailCetakPDF
http://www.autis.info/images/stories/autisme/anakautis010.jpgMEMBESARKAN  anak autis memang butuh kesabaran yang tinggi. Selain itu, orangtua juga harus menerapkan metode yang tepat untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri. Intinya adalah diagnosa akurat, pendidikan tepat,  dan dukungan kuat.

Selama ini begitu banyak stigma negatif tentang autis beredar di masyarakat. Ada yang bilang autis disebabkan santet, autis hanya diderita oleh orang kaya, autis itu sama dengan gila, dan autis itu menular. Stigma tersebut muncul karena pemahaman masyarakat tentang autis ini masih sangat minim.

”Sebenarnya kita tidak juga harus menyalahkan masyarakat luas,”  tandas seorang ibu dari anak autis sekaligus pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji SE MHc. Malah, Gayatri mengatakan bahwa tidak sedikit juga orang yang mengatakan autis itu adalah penyakit. Padahal yang benar ialah, anak autis adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangannya.

”Autis bukan penyakit, autis itu kondisi,” tuturnya dalam acara temu media bertema ”Menciptakan Masa Depan Mandiri bagi Anak Penyandang Autis” yang diadakan oleh MPATI, belum lama ini. Disarankan oleh Gayatri, segera tangani anak autis dengan benar, pastikan bahwa mereka mendapatkan pengasuhan yang tepat. Untuk menangani anak autis, inti dari penanganan itu ialah diagnosa, pendidikan, dan dukungan.

Dalam hal diagnosa, dibutuhkan diagnosa yang tepat dan akurat oleh dokter ahli. Di mana yang bisa dijadikan patokan bahwa seorang anak mengalami autis, bisa dilihat dari tujuh ciri anak autis, dan jika anak mengalami dua atau lebih dari ciri tersebut, maka bisa dikatakan anak tersebut alami autis.

”Lakukan sedini mungkin karena gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun,” tutur wanita yang juga pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD.

Selain itu, pendidikan tepat juga harus diberikan untuk membentuk anak autis menjadi mandiri. Gayatri menuturkan, jika anak autis diberikan pendidikan yang tepat, maka mereka mampu mandiri, dapat mengerti dan mengikuti perintah, mampu untuk duduk mendengarkan, serta patuh menunggu giliran.

”Dan itu semua merupakan kemampuan dasar yang sebaiknya dikuasai anak autis sebelum masuk sekolah,” ujar wanita yang mengambil gelar sarjana ekonomi di Universitas Indonesia ini.

Gayatri menyarankan, apabila ingin memasukkan anak ke sekolah, maka lakukan penanganan dini jauh sebelum anak ini pergi sekolah dan sebelum masuk pada usia sekolah. Ajarkan hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti buang air sendiri, makan dan minum sendiri, hingga mampu memasang kancing baju sendiri.

“Ini sangat membantu gurunya kelak sehingga guru pun tidak kewalahan pada saat mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah,”  ujar wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.

Dan yang terakhir adalah dukungan yang kuat. Tidak hanya dari orangtua atau keluarga, melainkan dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan media.
Dalam bukunya yang bertajuk 200 Pertanyaan & Jawaban Seputar Autisme, Gayatri menuliskan bahwa dalam merawat anak autis, orangtua sebaiknya saling berbagi tugas.

Pembagian tugas ini bisa dijalankan sesuai dengan kelebihan dari masing-masing karakter ibu atau ayah serta waktu yang mereka miliki. Semisal jika ayah pandai matematika, maka tugas mendampingi anak membuat pekerjaan rumah matematika dilakukan sang ayah.

Sama halnya dengan ibu, jika ibu lebih mahir dalam hal berkomunikasi, ibulah yang menjadi manajer dan juru bicara (jubir) anak untuk urusan sekolah. Idealnya, dilakukan komunikasi yang jujur dan terbuka. Atau ibu juga bisa membantu agar ayah lebih percaya diri dan mau lebih dekat dengan anak, misal dengan melakukan tugas menyenangkan, seperti bermain video gamebersama.

Di saat ayah bermain dengan anak, ibu bisa menggunakan waktu senggang untuk beristirahat. Buatlah daftar dari pekerjaan atau tugas yang diperlukan untuk mendidik anak. ”Dengan penanganan terpadu, anak penyandang autis punya masa depan. Harapan selalu ada, pasti ada kemajuan jika orangtua mau terlibat,” pesannya.

Sementara psikolog dari Universitas Indonesia, Dra Dyah Puspita MSi menyatakan bahwa pola asuh dalam merawat anak autis sama saja dengan anak biasa.

“Namun, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi serta ada konsekuensi untuk perilaku baik atau buruk,” ucap psikolog yang juga sebagai penanggung jawab pendidikan di Sekolah Khusus Autisma Mandiga. Dengan penuh semangat, percaya diri, serta kesabaran tinggi, maka yakinlah jika membesarkan anak autis menjadi pribadi yang mandiri bukanlah suatu impian belaka.
(Koran SI/Koran SI/tty)
8 Prinsip Diet untuk Penyandang Autisme
EmailCetakPDF
Tentang pola diet untuk pennyandang autisme, setidaknya ada delapan prinsip diet, yaitu:
8 Prinsip Diet untuk Penderita Autisme
1.      Diet bebas gluten dan kasein
2.      Diet bebas gula
3.      Diet bebas jamur/fermentasi
4.      Diet bebas zat adiktif
5.      Diet bebas fenol dan salisilat
6.      Diet rotasi dan eliminasi
7.      Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan
8.      Pemberian suplemen makanan
Mari kita bahas satu per satu.
Diet bebas gluten dan kasein minimal tiga bulan; yaitu dengan menghindari produk makanan yang mengandung gluten (biskuit, mie, roti, makanan yang mengandung terigu), produk makanan-minuman yang mengandung susu sapi (keju, mozzarella, butter, permen susu, dsb).
Diet bebas gula minimal 2 minggu dan probiotik. Hindari: gula pasir, sirup, soft drink, fruit juice kemasan, aspartam. Untuk pengganti gula, pakailah gula stevia dan xylitol secara bergantian, atau gula jagung (sorbitol). Gula palem (aren) nartural boleh ditambahkan sedikit untuk membuat kue sebatas aroma.
Diet bebas jamur/fermentasi, dengan menghindari: kecap tauco, keju, kue yang dibuat dengan vermipan/baking soda, termasuk makanan yang lama disimpan, buah-buahan yang dikeringkan (kismis, kurma).
Diet bebas zat adiktif, dengan menghindari semua pewarna, penambah rasa, pengawet, pengemulsi, penyedap rasa (MSG), kaldu kemasan, termasuk menghindari produk olahan (sosis, kormet, chicken nugget, dsb). Boleh memakai zat pewarna alami, seperti daun pandan/suji untuk warna hijau, kunyit untuk warna kuning, dan beet untuk warna merah.
Diet bebas fenol dan salisilat. Fenol terkandung di dalam buah berwarna cerah seperti: anggur, apel, cherry, prunes, plum, almond, dsb. Salisilat terkandung di dalam jeruk dan tomat. Adapun pepaya, mangga, beet, wortel aman dikonsumsi.
Diet rotasi dan eliminasi. Diet ini diberikan setelah memperoleh hasil tes sensitivitas makanan IgG (comprehensive food panel). Untuk makanan yang titer IgG-nya tinggi tidak boleh diberikan sama sekali (eliminasi). Sedangkan makanan yang titer IgG-nya rendah boleh diberikan dengan selang waktu 4 hari (rotasi).
Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan, misalnya:
1.      Minum air minimal 8 gelas sehari dari air mineral kemasan atau air yang telah disaring (water purifying system).
2.      Menu makanan banyak buah dan sayuran segar setiap hari, misalnya: pepaya, kiwi, nanas. Diberikan bergantian dan sesuai selera anak.
3.      Sediakan makanan tinggi protein saat sarapan pagi.
4.      Sebaiknya semua makanan dipersiapkan dari rumah, sebagai bekal di sekolah.
5.      Pilih peralatan memasak yang terbuat BUKAN dari logam berat.
6.      Gantilah peralatan yang terbuat dari alumunium dan teflon dengan alat yang terbuat dari STAINLESS STEEL atau KACA (PYREX).
7.      Pisahkanlah semua peralatan ini agar tidak terkontaminasi/tercemari.
Pemberian suplemen makanan
Diberikan sesuai gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan kebutuhan harian anak sesuai dengan usia dan berat badan.Misalnya:
1.      Kalsium (1000 mg/hari dosis terbagi).
2.      Magnesium glisinat (200-300 mg/hari).
3.      Zinc pikolinat dan alfa ketoglutarat (20-50 mg/hari).
4.      Selenium (50-100 mg/hari).
5.      Vitamin A natural dalam bentuk Cod Liver Oil (dosis sekitar 2500 IU/hari).
6.      Vitamin B6 dengan P5P sekitar 50 mg/hari.
7.      Vitamin C (dalam bentuk Ester C 500 mg/hari dalam dosis terbagi).
8.      Vitamin E (100-200 IU/hari) sebagai antioksidan.
9.      Asam Lemak Esensial, diberikan dalam bentuk EPA (Eicosapentoic Acid) 750 mg/hari, DHA (Docosahexanoic Acid) 250-500 mg/hari, dan GLA (Gamma Linoleic Acid) 50-100 mg/hari dalam EPO (Evening Primrose Oil) 1000-1500 mg/hari.
10. Asam amino dalam bentuk amino acid complex 1 kapsul/hari.
11. Kolustrum dalam bentuk liquid 1/2 sendok teh 2x sehari (2,5 gram).
12. Enzim, misalnya: Enzyme-Complete with DPP-IV, 3x sehari, diberikan pada awal makan.
13. Probiotik, diberi preparat yang mengandung 6 jenis mikroorganisme dalam satu kapsul, dosis 1-2 kapsul/hari.
14. Methylulfonylmethane (MSM), diberikan bila pada anak terdapat lingkaran hitam di sekitar atau di bawah mata.
15. Ubiquinone (30 mg 1-2 kapsul/hari).
16. Yeast Control, bila perlu dapat diberikan: oregano, golden seal, dsb.
17. Biotin (300 mg/hari).
18. Taurin, diberikan bila buang air besar (anak penderita autisme) berwarna pucat seperti dempul, sejumlah 1-3 kapsul/hari.
19. Reduced L-Glutathione, 1 kapsul/hari, untuk mencegah kerusakan sel, sebagai antioksidan, dan kelasi alami logam berat.
Setelah pemberian diet di atas, sebaiknya dievaluasi dengan cara mengidentifikasi setiap gejala yang timbul, lalu dibuat perbandingan sebelum dan sesudah melakukan diet.
Risiko Anak Autisme Meningkat Sesuai Usia Ibu
EmailCetakPDF
KOMPAS.com - Dibandingkan pria, wanita yang mempunyai bayi dalam usia yang tak muda lagi lebih meningkatkan risiko anak dengan austisme. Demikian hasil studi baru yang menganalisa temuan dari lebih dari 5 juta kelahiran.
Perbandingannya begini: wanita yang berusia di atas 40 tahun memiliki risiko 50 persen untuk mendapatkan anak dengan autisme daripada mereka yang melahirkan di usia 20 tahunan. Studi juga menyatakan, risiko terjadi kurang dari 4 dari 1.000 kelahiran. Sedangkan risiko pria berusia di atas 40 tahun lebih tinggi 36 persen daripada pria yang mempunyai anak di usia 20 tahunan.

Penemuan, yang dirilis di Journal Autism Research edisi Februari ini, bertentangan dengan penelitian lain yang mengatakan bahwa usia ayah memainkan peran yang lebih besar daripada usia ibu. Para peneliti dan pakar autisme lain mengatakan bahwa penelitian baru ini lebih meyakinkan, sebagian karena lingkup penelitian yang lebih luas. Ibu berusia matang diketahui memiliki risiko yang meningkat untuk mendapatkan anak dengan kelainan genetik, dan gen diperkirakan memegang peran dalam autisme.
Autisme adalah kelainan yang berkembang, yang menimbulkan masalah perilaku, komunikasi, dan sosialisasi yang ringan maupun berat.
Risiko kecil
Meskipun demikian, menurut Maureen Durkin, peneliti dari University of Wisconsin yang juga mempelajari pengaruh usia orangtua terhadap autisme, peningkatan risiko ini termasuk kecil. Banyak juga bayi yang lahir dari ibu berusia matang tidak mengalami autisme. Karena itu menurutnya, risiko rendah untuk autisme ini hanyalah merupakan pesan yang perlu dipertimbangkan oleh calon orangtua.

Studi ini mempelajari 5,6 juta kelahiran bayi di California antara 1 Januari 1990 dan 31 Desember 1999, dan kasus-kasus autisme yang didiagnosa sebelum usia 6 tahun. Secara total jumlahnya lebih dari 13.000; sedangkan studi tersebut menganalisa 12.159 anak autis dimana usia orangtuanya juga diketahui.
Para peneliti juga memperhitungkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diagnosis autisme, termasuk pendidikan dan ras orangtua.
Sementara itu Catherine Lord, direktur Autism and Communication Disorders Center di University of Michigan, mengatakan bahwa studi ini lebih kuat daripada penelitian sebelumnya yang memfokuskan pada usia ayah. Hal ini, menurutnya, memberikan gambaran yang lebih penuh mengenai apa yang sedang terjadi.
Data belakangan ini menyebutkan bahwa 1 dari 100 anak di Amerika mengalami autis, angka yang tampaknya telah meningkat dalam dekade terakhir. Para ahli meyakini bahwa peningkatan ini mencerminkan kesadaran yang lebih baik dan definisi autis yang meluas ketimbang peningkatan terhadap anak-anak yang mengidapnya.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia tua memang telah meningkat dalam tahun-tahun terakhir ini, tetapi mungkin hanya menyumbangkan sebagian kecil dari peningkatan dalam kasus-kasus, demikian pendapat salah satu penulis studi yang juga peneliti UC-Davis, Irva Hertz-Picciotto.
Anak dengan Autisme Bisa Maju
EmailCetakPDF
Jakarta, Kompas - Anak dengan autisme bisa mencapai kemajuan dan mengatasi ketertinggalan. Di Indonesia, akses masyarakat pada informasi ataupun tenaga pendukung penanganan anak penyandang autis masih terbatas. Hal ini menimbulkan rasa putus asa, keresahan, dan kebingungan orangtua.
Demikian diungkapkan Gayatri Pamoedji, pendiri Masyarakat Peduli Autisme (Mpati) sekaligus konselor keluarga, di sela acara ”Tanya Jawab Seputar Autisme”, Sabtu (3/4). Dalam kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Autisme Sedunia 2010 itu diluncurkan pula buku karya Gayatri Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme.
Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks pada anak. Gejala kerap tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan itu memengaruhi kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan perilaku (hidup dalam dunianya sendiri). Diperkirakan, sekitar 67 juta orang di dunia menyandang autisme. Autisme diyakini sebagai gangguan perkembangan serius yang meningkat pesat di dunia.
Gayatri mengatakan, anak dengan autisme dapat mencapai kemajuan. Untuk itu, dibutuhkan diagnosis akurat, pendidikan yang tepat, dan dukungan yang kuat. ”Hanya saja, orangtua harus bersabar. Tidak ada terapi bagus yang sifatnya memberi perbaikan secara instan,” ujar Gayatri, ibu dari remaja penyandang autis.
Dalam bukunya, Gayatri memaparkan, di negara maju tidak sedikit anak dengan autisme tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berhasil.
Tidak semua anak dengan autisme memiliki intelegensia rendah. Ada yang rata-rata, normal, bahkan di atas rata-rata. Secara umum, anak dapat dikatakan ”sembuh” jika mampu hidup mandiri (sesuai tingkat usia), berperilaku normal, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lancar. Hal itu bergantung pada derajat keparahan autis, usia, tingkat kecerdasan, dan kemampuan berbahasa anak. Ciri autisme tidak akan hilang sepenuhnya.
Gayatri meyakini, dengan tersedianya cukup informasi akurat, sarana pendidikan, dan pelatihan yang tepat serta dukungan kuat dari pemerintah dan masyarakat luas, masa depan anak penyandang autis akan lebih baik.
Belum bisa dipastikan
Igor Tabrizian, pakar autisme dan nutrisi dari Australia, yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, penanganan autisme pada dasarnya harus dilakukan secara sistemik dengan penekanan kepada perbaikan sistem pencernaan, otak, pengurasan racun, terutama logam berat dari dalam tubuh.
Dia juga meyakini, diet yang tepat dapat sangat bermanfaat bagi anak dengan autisme.
Sementara penyebab autisme masih belum dapat dipastikan. Beberapa pemicu yang dicurigai, antara lain genetik, kandungan logam berat, permasalahan selama dalam kandungan. (INE)
Detoks Pengusir Racun Logam pada Anak Autis
EmailCetakPDF
JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak autis biasanya mengalami alergi dan MEMILIKI kondisi pencernaan yang jelek. Sekitar 88 persen anak autis memiliki kondisi usus rusak (autistic colistic). Ada kecurigaan mereka mengalami keracunan logam berat.

Pakar analisa rambut dari Australia, Dr.Igor Tabrizian, mengatakan, logam berat dalam tubuh anak autis baru bisa dikeluarkan melalui proses detoks. "Sebelum mengetahui program detoks yang tepat, perlu diketahui dulu tingkat keracunan yang dialami anak," paparnya dalam sebuah seminar autis 'Menyambut Hari Autisme Sedunia 2010' di Jakarta beberapa waktu lalu.

Analisa rambut dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kekurangan nutrisi jangka panjang yang merupakan akar dari penyakit yang ada, serta menemukan logam berat beracun yang bisa mencetuskan penyakit.

Proses pembuangan racun (detoks), menurut Igor, dilakukan dengan pemberian suplemen yang dibagi menjadi beberapa kategori, yakni memperbaiki, memberi nutrisi esensial, pembersih racun, serta memperbaiki neurotransmitter.

Nutrisi yang mampu memperbaiki antara lain zinc, aloe vera, prebiotik dan probiotik, vitamin E, zat besi, magnesium, vitamin E, dan vitamin B. Program detoks ini dilakukan selama 6-48 bulan, tergantung derajat keparahan logam berat yang menumpuk.

Sebelum pemberian suplemen detoks, masalah pencernaan anak autis sebaiknya diperbaiki dengan cara melakukan pantang produk gluten atau tepung dan produk susu. Menurut Igor, sistem pencernaan pada anak autis tidak dapat memisahkan protein, sehingga beberapa jenis asam amino justru bergabung.

"Reaksi penggabungan ini akan ditangkap otak seperti narkotik sehingga menimbulkan halusinasi dan menimbulkan gangguan perilaku, akibatnya anak menjadi hiperaktif," paparnya.

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses detoks ini, orangtua bisa melakukan analisa rambut secara berkala. "Selama proses pembuangan racun, kadar polutan dalam tubuh anak akan naik turun. Jadi tak perlu kaget jika hasilnya menunjukkan kadar logam beratnya masih tinggi," katanya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda